Persaingan atau kompetisi adalah suatu hal yang pasti akan dihadapi oleh manusia dalam kehidupannya. Manusia yang takut bersaing akan kalah dan terpinggirkan serta kemudian merasakan pahitnya kegagalan. Semua aspek kehidupan manusia adalah kompetisi. Sejak sebelum kelahirannya pun, manusia sudah ditakdirkan untuk berkompetisi.
Dari jutaan sel sperma yang dimiliki oleh sang ayah, hanya 1 saja yang nantinya akan berhasil membuahi sel telur sang ibu. Persaingan terus terjadi dalam tahapan kehidupan selanjutnya, kompetisi mulai Nampak ketika para anak mulai memasuki usia sekolah, sekolah yang favorit, berstandar tinggi dan memiliki sarana pendukung yang lengkap akan didatangi berduyun-duyun oleh orang tua dari para calon siswa yang tak jarang begitu kecewa bahkan menangis ketika anaknya gagal diterima disekolah yang diidam-idamkan tersebut.
Keberhasilan memasuki sekolah favorit merupakan permulaan dari suatu kompetisi yang lebih berat, keinginan pribadi dan harapan orang tua untuk menjadi juara kelas disatu sisi adalah roda penggerak yang mampu membuat para siswa mencapai prestasi yang membanggakan, tetapi disisi lain bisa menjadi “papan luncur” menuju keterpurukan dan skeptisisme. Maka tak heran bila kita melihat begitu beratnya tekanan yang dirasakan oleh para siswa ketika akan menghadapi Ujian Nasional (UN) atau bahkan sekedar ujian harian dan begitu bahagianya mereka setelah semua ujian mereka selesaikan yang terkadang mereka ekspresikan dengan cara-cara yang kurang terpuji seperti tawuran ataupun mencoret-coret baju yang sebetulnya masih layak untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan.
Setelah masa sebagai siswa berakhir telah menanti bagi mereka 3 pilihan : menjadi mahasiswa, mencari kerja atau bahkan menjadi pengangguran yang ketiganya juga tak lepas dari persaingan. Pilihan untuk menjadi mahasiswa adalah persaingan yang berat ketika berharap untuk diterima dijurusan favorit di perguruan tinggi negeri yang diharapkan. Pesaing yang kalah biasanya akan memilih perguruan tinggi swasta atau setidaknya menunggu tahun berikutnya untuk kembali mencoba peruntungannya pada Seleksi Masuk Perguruan TInggi Negeri. Mencari kerja juga bukan perkara gampang, karena jumlah lulusan SLTA sederajat yang tidak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi justru jauh lebih besar dibandingkan dengan yang memilih untuk berkuliah, apalagi di era internet ini tamatan perguruan tinggi saja banyak yang menjadi pengangguran intelektual karena sempitnya lapangan pekerjaan apatah lagi lulusan SLTA sederajat. Menjadi pengangguran jelas pilihan yang paling tidak bijak karena sedikit demi sedikit akan menghilangkan kepercayaan diri sehingga perasaan tidak berguna akan tumbuh subur dan stress akan mudah menghampiri. Sebagian pengangguran akhirnya tergoda untuk mengambil jalan pintas, sehingga akhirnya timbullah berbagai jenis penyakit masyarakat (pekat) yang meresahkan dan meningkatkan angka kriminalitas. Para pelaku kriminalitas tak jarang juga berseloroh karena dunia kriminalitas ternyata juga tak lepas dari kompetisi yang berat, kebanyakan mereka mengatakan : “ cari yang haram aja susah apalagi yang halal”.
Begitulah kehidupan yang akan selalu melibatkan kompetisi dan persaingan. Persaingan antara para politisi yang berebut kekuasaan adalah tontonan yang biasa kita lihat dilayar televisi, begitu juga persaingan antara para artis dan seniman. Persaingan antara para produsen barang dan jasa pun begitu jor-joran terlihat ditelevisi. Begitu banyak contoh yang bisa diberikan : seperti adanya saling serang antara 2 operator seluler raksasa di tanah air, saling ejek antara produsen sepeda motor, dan juga antara berbagai produk minuman berenergi, yang mana semuanya saling tidak mau mengalah dan menganggap produknya sebagai yang terbaik sedangkan produk lawannya hanyalah “pengekor” seperti yang sering kita dengar bahwa “others can only follow” dan tidak berkualitas. Padahal pada kenyataannya kebanyakan iklan realitanya dilapangan hanyalah panggang yang jauh dari api.
Persaingan hidup bisa disebut sebagai “bangku sekolah”, metode dan jalan yang terbaik bagi manusia untuk menjadi lebih baik dan dewasa, karena kedewasaan tidaklah berbanding lurus dengan pertambahan usia karena adalah benar bahwa menjadi tua (bila dipanjangkan umur) adalah pasti sedangkan menjadi dewasa adalah pilihan. Hanyalah kedewasaan yang bisa membuat kita mampu menerima kegagalan dengan lapang dada tanpa mencari kambing hitam dan tidak menjadi jumawa ketika meraih suatu keberhasilan serta jauh dari sikap putus asa dan pesimisme. Ujian dan persaingan hidup akan terus membentuk karakter dan pola pandang kita terhadap kehidupan. Dan tidak akan mampu bagi kita untuk lulus dari “sekolah kehidupan” ini kecuali apabila kita mengikuti “kurikulum” yang telah digariskan oleh sang pemilik kehidupan, Allah SWT. Selain usaha, yang bisa kita lakukan hanyalah terus berdoa dan berharap bahwa Dia akan membimbing kita melewati kurikulum yang benar sehingga diakhir kehidupan kita akan memperoleh rapor yang baik ditangan kanan kita, amin. Selesai.
Keberhasilan memasuki sekolah favorit merupakan permulaan dari suatu kompetisi yang lebih berat, keinginan pribadi dan harapan orang tua untuk menjadi juara kelas disatu sisi adalah roda penggerak yang mampu membuat para siswa mencapai prestasi yang membanggakan, tetapi disisi lain bisa menjadi “papan luncur” menuju keterpurukan dan skeptisisme. Maka tak heran bila kita melihat begitu beratnya tekanan yang dirasakan oleh para siswa ketika akan menghadapi Ujian Nasional (UN) atau bahkan sekedar ujian harian dan begitu bahagianya mereka setelah semua ujian mereka selesaikan yang terkadang mereka ekspresikan dengan cara-cara yang kurang terpuji seperti tawuran ataupun mencoret-coret baju yang sebetulnya masih layak untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan.
Setelah masa sebagai siswa berakhir telah menanti bagi mereka 3 pilihan : menjadi mahasiswa, mencari kerja atau bahkan menjadi pengangguran yang ketiganya juga tak lepas dari persaingan. Pilihan untuk menjadi mahasiswa adalah persaingan yang berat ketika berharap untuk diterima dijurusan favorit di perguruan tinggi negeri yang diharapkan. Pesaing yang kalah biasanya akan memilih perguruan tinggi swasta atau setidaknya menunggu tahun berikutnya untuk kembali mencoba peruntungannya pada Seleksi Masuk Perguruan TInggi Negeri. Mencari kerja juga bukan perkara gampang, karena jumlah lulusan SLTA sederajat yang tidak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi justru jauh lebih besar dibandingkan dengan yang memilih untuk berkuliah, apalagi di era internet ini tamatan perguruan tinggi saja banyak yang menjadi pengangguran intelektual karena sempitnya lapangan pekerjaan apatah lagi lulusan SLTA sederajat. Menjadi pengangguran jelas pilihan yang paling tidak bijak karena sedikit demi sedikit akan menghilangkan kepercayaan diri sehingga perasaan tidak berguna akan tumbuh subur dan stress akan mudah menghampiri. Sebagian pengangguran akhirnya tergoda untuk mengambil jalan pintas, sehingga akhirnya timbullah berbagai jenis penyakit masyarakat (pekat) yang meresahkan dan meningkatkan angka kriminalitas. Para pelaku kriminalitas tak jarang juga berseloroh karena dunia kriminalitas ternyata juga tak lepas dari kompetisi yang berat, kebanyakan mereka mengatakan : “ cari yang haram aja susah apalagi yang halal”.
Begitulah kehidupan yang akan selalu melibatkan kompetisi dan persaingan. Persaingan antara para politisi yang berebut kekuasaan adalah tontonan yang biasa kita lihat dilayar televisi, begitu juga persaingan antara para artis dan seniman. Persaingan antara para produsen barang dan jasa pun begitu jor-joran terlihat ditelevisi. Begitu banyak contoh yang bisa diberikan : seperti adanya saling serang antara 2 operator seluler raksasa di tanah air, saling ejek antara produsen sepeda motor, dan juga antara berbagai produk minuman berenergi, yang mana semuanya saling tidak mau mengalah dan menganggap produknya sebagai yang terbaik sedangkan produk lawannya hanyalah “pengekor” seperti yang sering kita dengar bahwa “others can only follow” dan tidak berkualitas. Padahal pada kenyataannya kebanyakan iklan realitanya dilapangan hanyalah panggang yang jauh dari api.
Persaingan hidup bisa disebut sebagai “bangku sekolah”, metode dan jalan yang terbaik bagi manusia untuk menjadi lebih baik dan dewasa, karena kedewasaan tidaklah berbanding lurus dengan pertambahan usia karena adalah benar bahwa menjadi tua (bila dipanjangkan umur) adalah pasti sedangkan menjadi dewasa adalah pilihan. Hanyalah kedewasaan yang bisa membuat kita mampu menerima kegagalan dengan lapang dada tanpa mencari kambing hitam dan tidak menjadi jumawa ketika meraih suatu keberhasilan serta jauh dari sikap putus asa dan pesimisme. Ujian dan persaingan hidup akan terus membentuk karakter dan pola pandang kita terhadap kehidupan. Dan tidak akan mampu bagi kita untuk lulus dari “sekolah kehidupan” ini kecuali apabila kita mengikuti “kurikulum” yang telah digariskan oleh sang pemilik kehidupan, Allah SWT. Selain usaha, yang bisa kita lakukan hanyalah terus berdoa dan berharap bahwa Dia akan membimbing kita melewati kurikulum yang benar sehingga diakhir kehidupan kita akan memperoleh rapor yang baik ditangan kanan kita, amin. Selesai.
0 Komentar