Full Width CSS

Pelajaran dari liga champions asia


Kualitas permainan dilliga indonesia semakin membaik, pertandingan yang enak ditonton mengundang tidak hanya kaum adam tetapi juga kaum hawa untuk datang ke stadion menyaksikan secara langsung idola mereka beraksi walaupun pertandingan masih sering diwarnai dengan adanya kerusuhan yang diciptakan oleh para pemain dan juga penonton. Secara teoritis kualitas liga yang baik akan memberikan output berupa juara yang mampu bersaing dikompetisi regional atau bahkan inter-kontinental dan tentu saja tim nasional yang disegani dilevel internasional. Kualitas liga yang berbanding lurus dengan output tersebut bisa diwakili oleh keberhasilan tim nasional spanyol meraih dua gelar besar piala eropa dan piala dunia dalam selang waktu yang tidak terlalu lama.
Kualitas liga jepang juga berhasil menyumbang keberhasilan mereka menjadi pengkoleksi gelar piala asia terbanyak yaitu sebanyak 4 kali. Kualitas yang mulai membaik di liga super indonesia cukup terlihat dengan permainan atraktif tim nasional di Piala AFF tahun 2010 lalu walaupun pada akhirnya harus pulang dengan tangan hampa. Walau tanpa satupun gelar piala AFF, Indonesia adalah tim yang juga bisa memberi kejutan terhadap tim-tim elit asia seperti yang terjadi di piala asia 2004 saat menaklukkan Qatar dan piala asia 2007 saat menaklukkan Bahrain. Tetapi untuk level klub, klub-klub Indonesia belakangan ini hanya sering menjadi pelengkap penderita pada kompetisi antar klub di asia. Keberhasilan Pelita Jaya menembus Semifinal Liga Champions Asia pada tahun 1990 adalah prestasi tertinggi yang berhasil ditorehkan oleh klub Indonesia yang diiringi dengan keberhasilan Persib Bandung dan PSM Makassar menempus babak perempat final.
Tapi setelah masa itu berlalu, klub-klub Indonesia seolah hanya menjadi lumbung gol dipentas asia dan bahkan selalu gagal menembus persaingan difase grup. Hujan gol lebih dari selusin pernah dirasakan oleh Persik Kediri ketika pertama kali merasakan atmosfir pertandingan internasional kala bertanding disuhu dingin dengan juara Jepang Yokohama Marinos walaupun pada kali kedua mereka mampu mengejutkan Shanghai Senhua, Sidney FC dan Urawa Red Diamonds dan yang teranyar Arema Indonesia menjadi mangsa empuk bagi tiga klub besar asia yaitu Cerezo Osaka, Shandong Luneng dan Jeonbuk Motors setelah sebelumnya “Barcelona” dari Indonesia Persipura Jayapura betul-betul tak berdaya dihadapan kualitas juara liga China Changchun Yatai sehingga akhirnya 9 gol bersarang kegawang mereka tanpa balas. Laskar wong kito pun tak luput dari “pembantaian” yang dilakukan oleh klub China Shandong Luneng 5 gol tanpa balas walaupun akhirnya mereka mampu membalas diPalembang dengan skor 4-2 seperti halnya juga Persipura yang mampu membungkam Changchun Yatai di Senayan dengan skor 2-0. Masalah mental nampaknya menjadi kendala utama para pemain Indonesia ketika bertanding diarena internasional. Ini terlihat jelas dengan bagaimana perkasanya punggawa garuda ketika bermain dikandang sehingga mampu membungkam tim “eropa” Filipina dan begitu rapuhnya mental mereka sehingga harus pulang dengan kepala tertunduk ketika bertanding di Malaysia pada partai final. Hal ini semakin mempertegas pernyataan mantan Pelatih Timnas Ivan Kolev yang pada Piala Asia 2004 pernah mengatakan bahwa pemain Indonesia tidak punya mental yang baik apalagi ketika berhadapan dengan pemain ras kuning. Mental yang materialistis disinyalir juga menjadi penyebab kegagalan, hal ini diungkapkan oleh mantan pelatih Timnas juga yaitu Peter White yang pernah mengatakan disitus www.goal.com, bahwa pemain Indonesia kebanyakan materialistis, lebih mengutamakan uang dalam membela negara dan kurang memiliki kebanggaan mengenakan seragam tim nasional berbeda dengan apa yang dilihatnya ketika menukangi timnas Thailand yang menurut Withe memiliki kebanggaan yang tinggi untuk mengabdi kepada raja dan rakyat Thailand dengan memberikan penampilan terbaik ketika mereka dipercaya mengenakan seragam tim nasional Thailand. Mungkin perkataan withe ini ada benarnya karena Thailand yang kualitas sepak bolanya nota bene lebih baik dibandingkan Indonesia ternyata jauh lebih berprestasi dari klub maupun tim nasional Indonesia yang mendapatkan bayaran yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan pemain Thailand. Bukti-buktinya begitu nyata dengan keberhasilan Thailand menjadi raja asia tenggara bertahun-tahun dan juga kehebatan klub-klubnya yang mampu berbuat banyak dilevel asia seperti Thai Farmers Bank yang pernah menjadi juara liga champions asia dan BEC Tero Sasana yang pernah menjadi finalisnya.
Tahun ini ada beberapa agenda yang menanti tim nasional dan klub-klub papan atas Indonesia. Pra Olimpiade telah berlalu dengan kegagalan dan SEA Games telah menanti para pemain U-23 sedangkan Pra Piala Dunia 2014 juga menunggu para pemain senior. Juara musim lalu Arema FC juga sudah merasakan sebagian dari “kepahitan” liga Champions asia. Sedangkan angin segar datang dari Persipura dan Sriwijaya yang mampu tampil gemilang di ajang Piala AFC.
Sebagai pencinta sepakbola Indonesia hanya dukungan dan doa saja yang mampu kita berikan untuk kemajuan sepakbola Indonesia. Kepada para pemain entah dilevel klub ataupun tim nasional, kita hanya bisa berharap agar mereka bermain tanpa rasa takut siapapun lawan yang dihadapinya, permainan yang tanpa beban memberikan peluang yang besar untuk memberikan perlawanan terbaik buat tim yang sangar. Semoga kebanggaan mewakili nama bangsa mampu membuat mereka mengeluarkan 100% kemampuan mereka dan tidak membiarkan Indonesia dipermalukan dimuka dunia. Majulah sepakbola Indonesia, sesungguhnya kita harus selalu berkata : Indonesia bisa, yes we can. Selesai.

Posting Komentar

0 Komentar