Sebagai negara serumpun, hubungan antara Indonesia-Malaysia bagaikan gelombang ombak yang terkadang pasang dan juga terkadang surut. Terkadang keakraban begitu nampak seperti adanya acara bersama antara televisi lokal Indonesia dengan televisi Malaysia, ataupun adanya pencanangan kota kembar antara bukittinggi dan seremban dan juga terjadinya pertukaran pelajar diantara kedua negara. Menurut sejarahnya sebagian penduduk malaysia memiliki garis keturunan Indonesia dari suku minangkabau dan juga jawa. Perkawinan antar penduduk Indonesia dan Malaysia juga terjadi dalam jumlah yang tidak sedikit, bahkan seorang Manohara pun menjadi selebriti setelah terjadi konflik dengan suaminya yang berdarah bangsawan. Bahasa yang berakar dari budaya melayu juga menjadikan komunikasi lebih akrab diantara kedua negara. Bisa dibilang bahwa Indonesia adalah saudara tua dari malaysia.
Namun dilain sisi terkadang hubungan diantara kedua negara juga diwarnai dengan kebencian dan saling caci maki. Penduduk Malaysia sudah kadung menganggap bahwa orang Indonesia adalah para pemalas yang bermental pengemis, pencuri dan tidak beradab sehingga tidak mengherankan apabila kita kerap mendengar berita tentang penganiayaan TKI di Malaysia. Malaysia juga kerap melecehkan Indonesia dengan seringnya mereka “mencaplok” wilayah darat Indonesia yang dekat dengan perbatasan mereka. Malaysia juga dengan senang hati mengklaim produk budaya Indonesia seperti lagu Rasa Sayange, batik, rendang, reog ponorogo sebagai hasil budaya mereka sendiri. Sebagian dari warga mereka bahkan tega menghina lagu kebangsaan Indonesia Raya yang mengundang murka seantero nusantera yang mendesak Pemerintah untuk menggempur Malaysia. Lagu kebangsaan Malaysia sendiripun disinyalir memiliki aransemen yang sama dengan gubahan penyanyi asal Indonesia.
Permusuhan ternyata juga menjalar ke berbagai aspek termasuk olah raga. Pertandingan olah raga yang melibatkan kedua negara selalu diwarnai dengan tensi tinggi dan semangat untuk saling tidak mau kalah. Dalam bidang olah raga, Indonesia sebenarnya bisa dibilang boleh berbangga dibandingkan Malaysia. Di ajang regional seperti SEA Games maupun Asian Games atau internasional seperti Olimpiade, secara umum atlet-atlet Indonesia mampu lebih berprestasi dibandingkan Malaysia. Pada cabang terpopuler seperti sepak bola Indonesia kerap mempecundangi Malaysia seperti yang terjadi disemifinal Piala AFF tahun 2004 distadion bukit Jalil dimana Indonesia secara heroik mampu membalikkan keadaan dan mempermalukan Malaysia didepan pendukungnya sendiri. Indonesia juga cukup sering “mengekspor” pesepakbolanya keluar negeri tak terkecuali Malaysia yang dimulai oleh era Robby Darwis dan dilanjutkan oleh Bambang Pamungkas, Elie Aiboi, Ponaryo Astaman, Ilham Jayakusuma dan Kurniawan dwi Yulianto.
Tetapi hal itu hanya tinggal cerita karena kini Malaysia terus berbenah diri yang telah mereka buktikan dengan keberhasilan mereka menjadi pesaing utama Thailand dalam perebutan gelar juara umum SEA Games yang juga dilengkapi dengan emas buah bibir pada final Sepak bola SEA Games Laos 2009 lalu. Keberhasilan itu terus berlanjut dengan sukses mereka bertransformasi dari “zero to hero” ketika menjuarai ajang Piala AFF 2010 lalu. Malaysia juga menunjukkan mental positif menghadapi badai krisis ekonomi pada akhir tahun 90-an lalu. Dalam waktu yang relatif singkat Malaysia sanggup mengubah citranya dari sebuah negara yang ekonominya amburadul pada saat terjadinya krisis ekonomi, dan setelah masa krisis berakhir mereka telah dapat berdiri tegak dan bangkit kembali bahkan para investor asing telah berbondong-bondong membawa modalnya kembali ke Malaysia. Banyak pihak mengungkapkan bahwa Perdana Menteri Malaysia waktu itu, Mahathir Muhammad yang juga merangkap sebagai Menteri Keuangan telah mengarahkan kapal ekonomi Malaysia kearah perbaikan yang signifikan melalui agenda ekonomi baru yang menjadi jurus andalannya. Bahkan nyaris tanpa bantuan IMF pun Mahathir tetap mampu mempertahankan nilai tukar mata uangnya yang dipatok dengan Dollar Amerika, bukan seperti negara kita yang nilai rupiahnya sampai saat ini pun hanya tinggal bernilai 25 % dari nilai rupiah sebelum krisis. Dan bagaikan siklus roda yang berputar, disepak bola kini giliran Malaysia yang “mengekspor” pemainnya ke liga Indonesia yang dimulai oleh top skor Piala AFF 2010 lalu yakni Safee Sali yang bergabung dengan the young guns Pelita Jaya. Ini mungkin baru awal, tidak tertutup kemungkinan bahwa nanti akan datang pemain Malaysia lainnya entah itu Noor Shahrul Idlan, atau mungkin sang kiper heroik Khairul Fahmi yang akan bermain diliga Indonesia. Jadi sebenci apapun kita kepada Malaysia, tidak ada salahnya bila kita mencoba meniru langkah-langkah positif mereka yang “applicable” dan mungkin untuk kita terapkan dalam memperbaiki kehidupan berbangsa kita ke arah yang lebih baik. Selesai.
Permusuhan ternyata juga menjalar ke berbagai aspek termasuk olah raga. Pertandingan olah raga yang melibatkan kedua negara selalu diwarnai dengan tensi tinggi dan semangat untuk saling tidak mau kalah. Dalam bidang olah raga, Indonesia sebenarnya bisa dibilang boleh berbangga dibandingkan Malaysia. Di ajang regional seperti SEA Games maupun Asian Games atau internasional seperti Olimpiade, secara umum atlet-atlet Indonesia mampu lebih berprestasi dibandingkan Malaysia. Pada cabang terpopuler seperti sepak bola Indonesia kerap mempecundangi Malaysia seperti yang terjadi disemifinal Piala AFF tahun 2004 distadion bukit Jalil dimana Indonesia secara heroik mampu membalikkan keadaan dan mempermalukan Malaysia didepan pendukungnya sendiri. Indonesia juga cukup sering “mengekspor” pesepakbolanya keluar negeri tak terkecuali Malaysia yang dimulai oleh era Robby Darwis dan dilanjutkan oleh Bambang Pamungkas, Elie Aiboi, Ponaryo Astaman, Ilham Jayakusuma dan Kurniawan dwi Yulianto.
Tetapi hal itu hanya tinggal cerita karena kini Malaysia terus berbenah diri yang telah mereka buktikan dengan keberhasilan mereka menjadi pesaing utama Thailand dalam perebutan gelar juara umum SEA Games yang juga dilengkapi dengan emas buah bibir pada final Sepak bola SEA Games Laos 2009 lalu. Keberhasilan itu terus berlanjut dengan sukses mereka bertransformasi dari “zero to hero” ketika menjuarai ajang Piala AFF 2010 lalu. Malaysia juga menunjukkan mental positif menghadapi badai krisis ekonomi pada akhir tahun 90-an lalu. Dalam waktu yang relatif singkat Malaysia sanggup mengubah citranya dari sebuah negara yang ekonominya amburadul pada saat terjadinya krisis ekonomi, dan setelah masa krisis berakhir mereka telah dapat berdiri tegak dan bangkit kembali bahkan para investor asing telah berbondong-bondong membawa modalnya kembali ke Malaysia. Banyak pihak mengungkapkan bahwa Perdana Menteri Malaysia waktu itu, Mahathir Muhammad yang juga merangkap sebagai Menteri Keuangan telah mengarahkan kapal ekonomi Malaysia kearah perbaikan yang signifikan melalui agenda ekonomi baru yang menjadi jurus andalannya. Bahkan nyaris tanpa bantuan IMF pun Mahathir tetap mampu mempertahankan nilai tukar mata uangnya yang dipatok dengan Dollar Amerika, bukan seperti negara kita yang nilai rupiahnya sampai saat ini pun hanya tinggal bernilai 25 % dari nilai rupiah sebelum krisis. Dan bagaikan siklus roda yang berputar, disepak bola kini giliran Malaysia yang “mengekspor” pemainnya ke liga Indonesia yang dimulai oleh top skor Piala AFF 2010 lalu yakni Safee Sali yang bergabung dengan the young guns Pelita Jaya. Ini mungkin baru awal, tidak tertutup kemungkinan bahwa nanti akan datang pemain Malaysia lainnya entah itu Noor Shahrul Idlan, atau mungkin sang kiper heroik Khairul Fahmi yang akan bermain diliga Indonesia. Jadi sebenci apapun kita kepada Malaysia, tidak ada salahnya bila kita mencoba meniru langkah-langkah positif mereka yang “applicable” dan mungkin untuk kita terapkan dalam memperbaiki kehidupan berbangsa kita ke arah yang lebih baik. Selesai.
0 Komentar