Full Width CSS

Berdamai dengan penguasa, berdamai dengan diri sendiri

“BBM naik tinggi susu tak terbeli

Orang pintar tarik subsidi

Bayi kami kurang gizi” (Galang Rambu Anarki oleh Iwan Fals)

Bahan Bakar Minyak (BBM) telah menjadi salah satu faktor penting dalam mendukung mobilitas kehidupan manusia di masa modern ini. Bahan Bakar Minyak sebagai sumber energi yang tidak dapat diperbaharui memiliki keterbatasan kuantitas yang semakin menurun berbanding lurus dengan pertumbuhan populasi manusia dan bertambahnya umur bumi. Keterbatasan sumber daya alam ini pada masa sekarang semakin diperparah dengan adanya konflik dinegara-negara penghasil minyak mentah utama di kawasan timur tengah sehingga menyebabkan tersendatnya pasokan yang berimbas kepada kenaikan harga minyak dunia. Harga minyak mentah dunia yang terus meroket telah melebihi asumsi semula yang ditetapkan dalam APBN tahun 2012. Hal ini membawa konsekuensi meningkatnya jumlah subsidi yang harus dikucurkan pemerintah untuk menjaga agar harga BBM nasional tetap stabil. Subsidi yang terus membengkak akan menyebabkan tersedotnya dana APBN sehingga mengurangi “jatah” alokasi untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Maka setelah melalui perhitungan dan perdebatan yang panjang, pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dari harga semula Rp.4.500,-/liter menjadi Rp. 6.000,-/liter yang semula direncanakan untuk “di-launching” pada tanggal 1 April 2012 lalu. Namun pemerintah berjanji untuk tidak begitu saja lepas tangan dari keputusan yang akan sangat menyulitkan kehidupan rakyat dimasa mendatang. Pemerintah berjanji untuk memberikan kompensasi berupa Bantuan Sementara Langsung Masyarakat (BSLM) sebesar Rp. 150.000,- yang rencananya akan diberikan kepada 74 juta jiwa keluarga miskin keselama 9 bulan mulai dari bulan April s/d bulan Desember 2012. Pemerintah juga menjanjikan untuk memberikan Bantuan Siswa Miskin (BSM) bagi para pelajar kurang mampu dan menambah jatah Raskin serta memberikan subsidi bagi pengelola angkutan umum.

Keputusan ini tak urung mengundang pro dan kontra, dan tentu saja pihak yang menentang lebih dominan dibandingkan pihak yang mendukung. Sebagian pihak menganggap iming-iming kompensasi pemerintah adalah upaya pencitraan dimata rakyat kecil yang sebenarnya kurang rasional karena Presiden SBY tidak lagi punya kans untuk mencalonkan diri pada Pemilihan Presiden pada tahun 2014 mendatang. Demonstrasi dan penentangan terjadi dimana-mana diberbagai penjuru nusantara. Para mahasiswa dan demonstran yang mengklaim dirinya membela kepentingan rakyat kecil bersatu padu turun ke jalan-jalan dalam jumlah yang cukup besar untuk menolak rencana kenaikan harga BBM tersebut. Tapi sayang seribu kali sayang, klaim yang mereka tunjukkan sebagai para pembela kepentingan rakyat justru sangat perlu untuk dipertanyakan karena realita dilapangan bercerita tentang fakta yang berbeda. Demonstrasi diberbagai daerah mayoritasnya justru berujung dengan kerusuhan dan bentrokan antara para demonstran dengan aparat keamanan. Para mahasiswa yang diakui sebagai kaum intelek justru terlihat bagaikan preman jalanan yang menyeramkan bagi rakyat yang mereka perjuangkan. Kemacetan dan pengrusakan terjadi dimana-mana yang pada akhirnya justru merugikan ekonomi masyarakat disekitar lokasi demonstrasi. Angkutan umum yang tidak bisa beroperasi ataupun pedagang kaki lima yang terpaksa mengepak barang dagangannya lebih awal, adalah sedikit contoh dari kerugian yang disebabkan oleh demonstrasi yang menjurus anarkis tersebut. Disebuah tayangan televisi kita melihat bagaimana para mahasiswa “menjarah” sebuah restoran siap saji sementara dilain tempat kita melihat mahasiswa merusak pagar pembatas sebuah bandara yang menyebabkan gagalnya pendaratan pesawat karena terhalang oleh mahasiswa yang menyesaki landasan. Yang lebih spektakuler adalah ketika para mahasiswa merusak pagar gedung DPR yang notabenenya dibangun dengan biaya yang tidak sedikit dan pada akhirnya justru kembali “memaksa” keluarnya uang rakyat untuk perbaikan pagar yang sebenarnya bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain yang lebih penting. Gelombang demonstrasi dan penolakan ini pun kemudian mendapat perhatian khusus dari para wakil rakyat yang kemudian bersidang membahas kebijakan pemerintah tersebut. Setelah melalui perdebatan panas dalam sidang paripurna, DPR akhirnya memberi keleluasaan bagi pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Dengan persetujuan ini,pemerintah diberi kewenangan menyesuaikan harga BBM apabila harga minyak mentah Indonesia (ICP) untuk kurun waktu enam bulan mengalami kenaikan atau penurunan 15% dari asumsi ICP APBN-P 2012, USD 105 perbarel. Dengan demikian, harga BBM berpotensi dinaikkan apabila ICP mencapai USD120,75 per barel.

Walaupun pemerintah membatalkan rencana semula untuk menaikkan harga BBM pada tanggal 1 April 2012, tetapi ternyata harga barang-barang telah terlanjur terlebih dahulu merangkak naik sehingga semakin membebani kehidupan rakyat kecil. Penimbunan BBM pun juga telah terlanjur terjadi dimana-mana. Apabila kita kaji lebih jauh, disetiap langkah yang ditempuh pemerintah, akan selalu ada penentangan dan prasangka dari berbagai pihak terutama pihak oposisi yang tidak akan pernah puas dengan kebijakan pemerintah. Bisa jadi berbagai kalangan sudah kehilangan kepercayaan kepada pemerintah karena semakin tingginya angka korupsi yang dilakukan oleh para oknum yang tidak bertanggung jawab yang justru kebanyakan diantaranya seolah menjadi the “The Untouchable” yang kebal hukum dan bisa melenggang bebas tanpa menunjukkan rasa bersalah sedikitpun. Tapi ditengah kehidupan berbangsa yang semakin terpuruk, kebencian dan apriori kepada pemerintah yang berkuasa hanyalah akan menjadi duri yang memperburuk keadaan. 
 
Sudah saatnya bagi semua pihak untuk saling mengintrospeksi diri, menghilangkan ego kepartaian atau ego kesukuan dan tentu saja dengan tidak menghilangkan sikap kritis, sikap kritis yang diiringi dengan kesantunan yang selama ini menjadi ciri khas masyarakat Indonesia dan pada masa ini telah menjadi mutiara yang hilang sebagaimana yang kita lihat pada berbagai acara di televisi ataupun berita di surat kabar ketika para politikus tidak lagi segan untuk menghujat pemerintah ataupun lawan politiknya dengan kata-kata kasar yang rasanya mustahil diucapkan oleh manusia yang intelek dan terhormat seperti mereka. Sudah saatnya pula bagi para mahasiswa untuk berhenti melakukan pengrusakan dan pelemparan batu kepada para aparat keamanan, tapi kembali ke “fitrah” mereka yang telah diwasiatkan oleh para orang tua mereka yang telah bersusah payah mencari biaya agar mereka mampu mencapai pendidikan tinggi dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari yang dirasakan oleh orang tua mereka. Kembali ke titik awal mereka untuk bersungguh-sungguh menuntut ilmu yang akan mereka gunakan untuk menunjang kehidupan mereka dimasa depan. Dan bila memang diperlukan untuk berdemonstrasi, tentulah semua pihak mengharapkan mereka untuk melakukannya dengan santun dan damai tanpa adanya pengrusakan yang justru akan merugikan rakyat yang mereka jadikan sebagai objek perjuangan. 
 
Pemerintah adalah cerminan dari rakyatnya karena pemerintah tumbuh dan berkembang ditengah masyarakatnya. Maka apabila rakyatnya baik, maka sudah pasti pemerintahnya akan baik sementara bila mayoritas masyarakatnya lebih senang melakukan penipuan dan penggelapan, akan sangat wajarlah apabila mayoritas aparatur pemerintahnya juga memiliki mentalitas yang serupa. Kita bisa lihat betapa banyaknya kelompok masyarakat yang membentuk kelompok-kelompok temporal yang mereka gunakan untuk mendapatkan dana dari proyek atau bantuan yang akan dikucurkan pemerintah, untuk kemudian membubarkan diri setelah hasrat mereka terpenuhi. Kita juga bisa lihat betapa banyaknya orang yang tega menangguk diair keruh seperti kasus penimbunan berton-ton BBM menjelang kenaikan harga BBM ini ataupun banyaknya penebar paku dijalanan yang ditujukan untuk menambah pemasukan mereka dari jasa menambal ban. Beberapa hal tersebut hanyalah sekelumit contoh dari betapa buruknya mentalitas sebagian besar masyarakat kita yang telah terjebak dalam lingkaran materialisme dan individualisme. Sudah saatnya bagi kita untuk berdamai dengan penguasa dan sudah saatnya pula bagi kita untuk berdamai dengan diri sendiri, dengan lebih banyak mengintrospeksi diri dan berusaha memperbaiki kekurangan diri untuk menyongsong kehidupan dan sinar matahari yang lebih cerah dimasa depan. Selesai.

Posting Komentar

0 Komentar