Full Width CSS

(Bukan) mimpi yang sempurna

                Beberapa hari yang lalu saya melihat sebuah berita yang menarik disalah satu acara highlight sepak bola asia, berita tentang kejutan yang dibuat oleh sebuah klub Thailand yang diperkuat oleh salah seorang mantan pemain Persib Bandung yaitu Suchao Nutnum. Buriram United, juara liga Thailand musim lalu, memberikan kejutan kepada Kashiwa Reysol, salah satu raksasa Jepang yang juga menjadi wakil Asia di Piala Dunia antar klub Desember lalu di di i-mobile stadium yang megah. Mereka membungkam Kashiwa Reysol dengan skor 3-2 pada matchday pertama Liga Champions Asia musim ini. Tak cukup disitu pada matchday kedua dikandang raksasa China Guangzhou Evergrande, mereka kembali mampu mendulang poin sempurna dengan menekuk tuan rumah dengan skor 2-1, padahal sebelumnya Guangzhou secara meyakinkan mampu menghempaskan wakil Korea Selatan Jeonbuk Motor dengan skor 5-1. Prestasi ini sebetulnya bisa dibilang bukanlah hal yang terlalu mengejutkan, karena Thailand diawal tahun 90-an pernah menempatkan wakilnya menjadi jawara asia sebagaimana yang telah diraih oleh Thai Farmers Bank, dan juga mampu menjadi runner up diawal tahun 2000-an melalui sepak terjang BEC Terro Sasana FC.

            Hal ini membuat kita kembali tercengang dan sadar akan propaganda yang salah dimasa lalu yang mengatakan bahwa liga Indonesia adalah yang terbaik di asia tenggara dan semakin menyadarkan kita akan ketertinggalan liga kita dikawasan ASEAN apalagi Asia. Bukti nyata dari ketertinggalan liga kita adalah dengan keluarnya wakil-wakil kita dari perhelatan liga champions Asia pada beberapa tahun terakhir sebagai pesakitan yang harus menanggung malu dengan menjadi lumbung gol bagi klub-klub Jepang, China atau Korea serta gagalnya Persipura lolos ke putaran utama Liga Champions Asia musim ini setelah dikalahkan oleh permainan terukur dari wakil Australia Adelaide United yang diperkuat oleh seorang calon pemain Naturalisasi Sergio Van Dijk. Dan bila kembali ke awal paragraf diatas, sudah sepatutnya kita untuk setidaknya angkat topi atau bahkan menyingkirkan rasa gengsi untuk belajar dari tetangga kita Thailand.

            Alih-alih melakukan perbaikan, pengurus PSSI kita terlihat larut dalam “dunia politik sepak bola”. Dengan kemarau prestasi yang berkepanjangan, tidak membuat para petinggi sepakbola di negeri kita bergandengan tangan untuk sama-sama maju membangun sepak bola nasional, tapi justru sibuk memperebutkan kekuasaan dan saling menyalahkan serta mementingkan kelompok mereka sendiri. Kejayaan masa lalu selalu mereka apung-apungkan untuk menghibur para pecandu sepak bola nasional yang sudah sangat dahaga akan prestasi tim garuda. Keberhasilan tim nasional lolos ke perempat final Olimpiade Melbourne tahun 1956 serta menahan tim Uni Soviet yang kala itu gawangnya dijaga oleh si “manusia laba-laba” Lev Yashin ataupun hampir lolosnya kita ke Olimpiade setelah kalah adu pinalti dari Korea Utara pada tahun 1976 selalu menjadi bumbu penyedap yang mereka taburkan untuk menutupi kegagalan mereka. Hal ini bisa kita lihat dengan jelas ketika Nurdin Halid dan para pendukungnya mati-matian mempertahankan singgasananya yang bahkan pernah dinahkodai dari balik jeruji agar langgeng dengan memperlihatkan sejumlah “prestasi” menurut versi mereka dan dengan berlindung dibalik statuta FIFA dan PSSI yang selalu mereka agung-agungkan untuk memukul mundur para penentang mereka.  

Konflik terus berlanjut sampai akhirnya bergulir liga tandingan dari kompetisi resmi PSSI, Liga Super Indonesia yang disaingi oleh Liga Primer Indonesia (LPI) yang disponsori oleh Arifin Panigoro dan para pendukungnya. Konflik demi konflik yang mengancam kestabilan sepak bola nasional membuat FIFA prihatin dan akhirnya mengeluarkan “SK” pembentukan Komite Normalisasi yang diketuai oleh Agum Gumelar. Setelah sempat diwarnai kericuhan yang membuat sepak bola Indonesia berada dibawah bayang-bayang pembekuan dari FIFA, akhirnya terpilihlah Djohar Arifin Husin sebagai Ketua Umum PSSI yang baru menggantikan Nurdin Halid. Hal ini sempat melegakan sejenak para pecinta bola di seantera nusantara sebelum akhirnya pengurus PSSI yang baru juga membuat keputusan kontroversial seperti memecat pelatih Alfred Riedl yang telah membawa Indonesia menjadi runner up di ajang Piala AFF 2010 dan mempersatukan para pecinta sepak bola Indonesia sebagaimana yang pernah terjadi pada Piala Asia tahun 2007 ataupun memberikan promosi gratis bagi beberapa klub untuk berlaga dikompetisi baru yang berusaha menggabungkan antara Liga Super Indonesia (LSI) dan Liga Primer Indonesia (LPI) serta membuat kompetisi baru ini diikuti oleh terlalu banyak klub sehingga menjadikan musim kompetisi lebih panjang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kontroversi akan format kompetisi baru ini kembali menimbulkan perpecahan pada sepak bola nasional. Keadaan telah berbalik, bila pada sebelumnya LPI dianggap sebagai kompetisi ilegal, pada awal era kepengurusan Djohar Arifin Husin, kompetisi sepak bola Indonesia berubah nama menjadi Indonesian Premier League (IPL) yang menimbulkan ketidak puasan terhadap mayoritas klub yang sebelumnya berlaga di Liga Super Indonesia (LSI) yang kemudian bergabung untuk membentuk liga tandingan yang tetap diberi label LSI. PSSI kebakaran jenggot, dan kemudian melarang pemain LSI untuk memperkuat tim nasional. Terbatasnya pilihan pemain di IPL membuat kesulitan bagi pelatih Aji Santoso dalam mempersiapkan tim yang akan berlaga di partai pamungkas Pra Piala Dunia Grup E melawan Bahrain yang dijadwalkan untuk digelar dikandang lawan. Perbedaan kualitas yang terlalu jauh membuat tim nasional babak belur dan terpaksa menelan pil yang sangat pahit karena dikalahkan dengan skor mencolok 10-0 yang belum pernah dirasakan oleh para pemain nasional sebelumnya. Keputusan PSSI yang tidak mau menyertakan pemain LSI dianggap sebagai salah satu faktor utama yang membuat Indonesia harus menanggung malu sebesar itu. Kekalahan yang mencolok juga mengundang tanda tanya bagi FIFA yang kemudian memutuskan untuk melakukan investigasi terhadap kekalahan yang tidak wajar tersebut karena saat itu Bahrain membutuhkan setidaknya 9 gol dan berharap agar Qatar kalah dari Iran untuk mewujudkan harapan mereka melaju ke putaran selanjutnya. Secercah harapan sempat muncul ketika tim garuda muda U-21 yang berlaga di Piala Sutan Hasanal Bolkiah 2012 mampu menembus partai puncak dan berhadapan dengan tuan rumah. Namun apa hendak dikata, tim yang juga tidak diperkuat oleh pemain jebolan LSI dan terlalu bergantung kepada “Lionel Messinya Indonesia” Andik Vermansyah akhirnya harus kalah dihadapan semangat pantang menyerah dari tim Brunei yang memperoleh suntikan energi dari raja mereka yang hadir untuk menyaksikan partai final. Hattrick runner up pun tercipta setelah sebelumnya tim nasional senior hanya mampu meraih posisi runner up diajang piala AFF 2010 dan tim nasional SEA Games hanya mampu meraih medali perak diajang SEA Games Jakarta dan Palembang tahun 2011 lalu.

Keprihatinan akan kondisi sepak bola nasional yang semakin tidak menentu kembali memicu timbulnya suara-suara penyeru reformasi ditubuh PSSI. Djohar Arifin Husin yang dianggap telah gagal dalam waktu yang masih singkat dalam masa kepengurusannya diminta untuk legowo dan meletakkan jabatannya. Disaat PSSI sudah memberikan pengakuannya terhadap LSI dan menyerukan rekonsiliasi, sekelompok orang yang menamakan diri mereka sebagai Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) justru membuat PSSI tandingan dan memilih La Nyalla Mahmud Mattalitti sebagai ketua umum PSSI versi mereka. FIFA pun meradang dan ancaman pembekuan semakin dekat menuju kenyataan.  Namun para pecinta sepak bola nasional untuk sementara dapat bernafas lega karena FIFA bersedia memberikan tenggat waktu kepada PSSI untuk menyelesaikan semua konflik yang terjadi sebelum tanggal 15 Juni 2012.

            Bak kata pepatah, kesempatan tak datang 2 kali, hal ini seharusnya betul-betul dimanfaatkan oleh semua pihak baik PSSI versi Djohar Arifin Husin ataupun versinya La Nyalla Mattalitti, bila betul-betul tulus dalam membangun sepak bola nasional, untuk duduk bersama dan berekonsiliasi, mengesampingkan semua kepentingan dan perbedaan untuk kemudian menyatukan langkah menempuh jalan yang terbaik untuk menyelamatkan sepak bola nasional. Bila hal ini tak dilakukan, hampir bisa dipastikan bahwa prestasi sepak bola Indonesia akan semakin terpuruk dan sulit untuk bangkit kembali. Sanksi FIFA akan membuat semua mimpi putra-putra Indonesia menjadi tidak sempurna. Bunga-bunga yang yang sedang tumbuh itu akan menjadi layu sebelum sempat berkembang. Kita tak bisa membayangkan betapa kecewanya para pemuda yang sedang “belajar” di Eropa ataupun Amerika Latin seperti Syamsir Alam, Alfin Tuasalamony dan Yericho Christiantoko apabila nanti kontrak mereka diputus ditengah jalan karena negara mereka tidak lagi diizinkan oleh FIFA untuk berlaga diajang internasional. Kita juga tak akan bisa memahami bagaimana terpukulnya seorang Andik Vermansyah yang punya potensi besar untuk bermain diliga-liga Eropa ketika mimpinya untuk menjalani trial pupus karena sanksi FIFA. Yang tak kalah menyakitkannya adalah bagaimana mimpi dari para pemain yang telah jatuh cinta kepada Indonesia seperti Greg Nwokolo dan Victor Igbonefo akan musnah sebelum menjadi nyata seperti harapan mereka untuk mengenakan kostum dengan lambang garuda didada. Kitapun pasti kecewa bila para pemuda berbakat seperti Stephano Lilipaly, Toni Cussel ataupun Jhonny Van Bekeuring yang telah rela melepaskan kewarganegaraan Belandanya tidak sempat tampil memperkuat Indonesia diajang internasional dan memberikan harapan untuk memberi prestasi yang lebih baik. Sebagai pecinta sepak bola Indonesia, pada akhirnya kita hanya bisa berharap agar semua pihak yang berselisih mau menghentikan semuanya, membuang semua ego, mencari titik temu dan kembali menata i’tikad yang baik untuk bersama-sama membangun sepak bola Indonesia, bersama-sama membangun mimpi yang tidak mustahil untuk diwujudkan seperti yang pernah saya baca disalah satu tabloid olah raga nasional dipertengahan tahun 90-an, yang mengulas kelebihan dan potensi para pemain muda Indonesia kala itu yang didominasi oleh alumni PSSI Primavera seperti Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti, Aples Tecuari dan Nur’alim yang mereka prediksikan akan mampu meraih puncak prestasi pada masa keemasan mereka diawal tahun 2000-an ketika mereka berumur antara 26-27 tahunan. Walaupun mimpi itu tak terwujud, semua harapan itu masih mungkin untuk dicapai, karena Indonesia seperti yang pernah dikatakan oleh mantan Pelatih Nasional Will Coerver adalah “Brasilnya” Asia, tempat dimana bakat-bakat pemain sepak bola begitu melimpah. Sekali lagi kita hanya bisa berharap akan adanya kedewasaan dari semua pihak yang mengaku peduli terhadap sepak bola nasional agar mimpi-mimpi itu menjadi mimpi yang sempurna. Selesai.

Posting Komentar

0 Komentar