Pancasila adalah dasar negara yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa Indonesia. Pancasila hadir sebagai pemersatu pandangan hidup masyarakat Indonesia dan menjadi pedoman hidup bagi segenap rakyat Indonesia. Pancasila lahir dari keluhuran budi pekerti dan semangat gotong royong yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Pada zaman orde baru, Pemerintah berusaha menjalankan proyek ideologi pancasila dengan mewajibkan setiap pegawai negeri dan anggota masyarakat mengikuti Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Di tingkat sekolah, P4 diajarkan melalui mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Pada setiap tanggal 30 September, Televisi Republik Indonesia (TVRI) menayangkan film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI yang dianggap sebagai bukti kesaktian pancasila dalam menghadapi segala ideologi yang akan merusak tatanan hidup bermasyarakat yang berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Karena Pancasila lahir sejalan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, sudah barang tentu nilai-nilai luhur pancasila telah ada dan berkembang serta diwariskan dari generasi ke generasi di seluruh suku bangsa yang tersebar di seantero nusantara. Nilai-nilai luhur Pancasila telah menjadi budaya dan perilaku yang sehari-harinya diterapkan oleh Masyarakat Jawa, Masyarakat Ambon, Masyarakat Papua, Masyarakat Bali dan berbagai suku bangsa lainnya di Indonesia. Penulis sendiri yang berdarah Minangkabau pernah merantau selama kurang lebih tujuh tahun di tengah-tengah masyarakat Suku Jawa di Surabaya, Jawa Timur. Banyak sekali nilai-nilai luhur dalam budaya Jawa yang diterapkan dan diwariskan kepada para generasi penerus yang tentu saja sejalan dengan Pancasila.
Para orang tua, kakek, mamak (paman), penghulu adat dan masyarakat Minangkabau lainnya selalu berusaha menanamkan nilai-nilai luhur kepada para generasi penerus. Pada era sebelum Tahun 90-an, masyarakat Minangkabau mendidik anak laki-laki di surau-surau (masjid/langgar dll). Anak laki-laki ditempa, diajari mengaji, belajar adat istiadat dan juga menjaga diri dengan belajar ilmu bela diri silat Minangkabau. Anak laki-laki pada masa tersebut tidur di surau-surau dan pulang kerumah disiang hari karena dalam budaya Minang, rumah orang tua adalah diperuntukkan bagi Saudara perempuan sehingga merupakan aib pada masa itu apabila anak laki-laki tidur dirumah orang tuanya.
Berdasarkan apa yang kami terima dari orang tua, kakek, mamak dan masyarakat Minangkabau pada umumnya, kami mencoba memaparkan (versi kami) ajaran/pandangan hidup orang Minang yang Insya Allah sejalan dan bersesuaian dengan nilai-nilai luhur Pancasila :
Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila ini sesuai dengan prinsip utama orang Minang bahwa “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”. Masyarakat Minangkabau sangat menjunjung tinggi adat istiadat, akan tetapi landasan adat istiadat itu bukanlah berdasarkan kepada hasil olah pikir manusia yang sangat terbatas melainkan kepada syariat agama Islam dengan pondasi yang sangat kokoh yaitu Kitab Allah (Al Qur’an). Dan penegasan Keesaan Allah selaku sesembahan yang Haq dicantumkan diberbagai tempat dalam Al Qur’an.
Sila Kedua : Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Sila ini sesuai dengan berbagai prinsip orang Minangkabau yang salah satunya adalah sopan santun dalam berbicara dengan menyesuaikan pembicaraan dengan lawan bicara. Orang Minang mengenal kato nan ampek (kata yang empat) :
1. Kato Mandaki adalah kata yang dipergunakan kepada lawan bicara yang lebih tua atau posisi tawarnya lebih tinggi dari kita diantaranya orang tua, paman, kakek, guru, ulama, tokoh masyarakat.
2. Kato Manurun (kata menurun) adalah cara berkomunikasi dengan atau membicarakan tentang seseorang yang posisi tawarnya di bawah kita, diantaranya ketika berbicara dengan lawan bicara yang lebih muda atau memang kepada remaja dan anak kecil.
3. Kato Mandata (kata mendatar), merupakan cara berbahasa dengan teman sebaya/seumuran dalam pergaulan hidup sehari-hari.
4. Kato Malereng (kata melereng), adalah bagaimana cara berkomunikasi dengan pihak yang rasanya janggal apabila mengungkapkan perasaan/ pikiran kepadanya secara gamblang dan terus terang. Dalam kata melereng ini digunakan kata-kata halus yang mengandung makna kiasan. Contohnya adalah komunikasi antara mertua dengan menantu dan sebaliknya.
Keadilan bagi siapa saja bagaimanapun keadaannya juga diwujudkan dalam petuah :
Nan buto paambuih lasuang (yang buta untuk meniup lesung/alat penumbuk padi)
Nan pakak palapeh badia (yang tuli untuk melepaskan/menembakkan senapan)
Nan lumpuah paunyi rumah (yang lumpuh untuk menjaga/tinggal di rumah)
Nan kuaik pambaok baban (yang kuat untuk mengangkut barang berat)
Nan binguang disuruah-suruah (yang bingung untuk dimintai tolong)
Nan cadiak lawan barundiang (yang pandai untuk dibawa berunding)
Dalam pandangan orang Minang semua manusia memiliki manfaat bagi manusia lainnya bahkan walaupun orang tersebut memiliki kekurangan dalam fisik/anggota tubuhnya.
Sila Ketiga : Persatuan Indonesia
Orang Minangkabau diajarkan untuk hidup menyesuaikan diri dengan masyarakat dimanapun berada dan menjauhi perpecahan. Hal ini tergambar dalam perkataan “dima bumi dipijak disinan langik dijunjuang”. Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Dengan prinsip ini masyarakat Minang ketika pergi merantau selalu hidup membaur dan menyesuaikan diri dengan budaya setempat.
Sila Keempat : Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan
Sila ini sejalan dengan prinsip orang Minangkabau yang selalu mengedepankan musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan. Prinsip musyawarah tergambar dalam petuah “Bulek Aia Dek Pambuluah Bulek Kato Dek Mupakaik. Bulat air karena pembuluh, kebulatan kata karena mufakat. Dan “duduak surang basampik-sampik duduak basamo balapang-lapang”. Duduk sendiri terasa sempit, duduk bersama terasa lapang. Dengan prinsip ini Menyelesaikan persoalan berat akan terasa susah kalau sendiri, tetapi akan menjadi mudah jika ada pihak lain yang ikut membantu.
Sila Kelima : Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Bakati samo , maukua samo panjang (Mengukur sama panjang)
Tibo dimato indak dipiciangkan, tibo diparuik indak dikampihkan (ketika orang yang dekat bersalah maka tidak menutup mata dan tidak mengempiskan perut)
Tibo didado indak dibusuangkan, mandapek samo balabo (Dada tidak dibusungkan, kalau berlaba sama dibagi)
Kahilangan samo marugi, maukua samo panjang (Kalau merugi sama dibagi, mengukur sama panjang)
Mambilai samo laweh , baragiah samo banyak (membagi sama luas, memberi sama banyak)
Gadang kayu gadang bahannyo , ketek kayu ketek bahannyo (besar kayu besar bahannya, kecil kayu kecil bahannya (pembagian sesuai kebutuhan seperti uang jajan pada anak))
Nan ado samo dimakan , nan indak samo dicari (Makanan yang ada dimakan bersama, bila tidak ada bersama berusaha).
Semoga pengamalan Pancasila dapat terus meningkat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga cita-cita luhur para pendiri bangsa sebagaimana diabadikan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat kita wujudkan bersama. Majulah Negeriku, Indonesia Bisa, Indonesia Hebat. Selesai.
0 Komentar