Mungkin akan timbul pertanyaan, kesedihan apa yang dimaksud dari judul diatas. SAD (Sociedad Anonima Deportiva) Indonesia adalah sebuah tim sepakbola junior yang dibentuk oleh PSSI untuk mengikuti kompetisi disalah satu negara maju dalam sepakbola yaitu Uruguay. Tim ini dikirim pertama kali pada 2008 dan berlaga dilevel U-17.
Diawal kedatangannya di Uruguay, tim ini mendapatkan pelajaran bagaimana bermain sepakbola yang benar dari anak-anak Uruguay, sebelum akhirnya sedikit demi sedikit menemukan level permainan yang lebih baik. Hal ini terlihat ketika mereka kembali ke Indonesia pada tahun 2009 untuk mengikuti pra kualifikasi Piala Asia U-19, dimana pada awalnya mereka dibungkam Singapura dengan skor 1-0 dan dipermalukan Jepang 7-0 sebelum akhirnya membungkam Taiwan 6-0 dan merepotkan tim elit the socceroos junior atau Australia sehingga memaksa skor imbang 0-0. Permainan mereka semakin membaik yang dibuktikan dengan keberhasilan mereka mengalahkan tim elit Chili yaitu Universidad de Chile dengan skor 2-1 dan hanya kalah 3-1 dengan tim junior Chile pada serangkaian ujicoba. Mereka juga berhasil masuk papan atas pada kompetisi junior yang mereka ikuti. Proyek ini terus berlanjut, pada tahun 2011 ini PSSI kembali mengirim 40 pemain muda untuk berlaga dalam kompetisi U-17 dan U-19.
Proyek ini membawa ingatan kita kepada belasan tahun kebelakang ketika sejumlah pemuda Indonesia dikirim ke Italia untuk mengikuti kompetisi junior di negara pizza Italia. Tim Primavera yang kala itu dimotori oleh Bima Sakti, Kurniawan Dwi Yulianto, Anang Ma’ruf, Indriyanto Nugroho dkk memberikan angin segar dan harapan baru akan kebangkitan sepakbola Indonesia. Mereka mampu bersaing dengan pemain-pemain muda Italia, bahkan Kurniawan mampu bersaing dengan legenda tim azurri yaitu Alessandro Del Piero dan bahkan sempat direkrut oleh FC. Lucerne, Swiss dan tim Primavera Sampdoria. Hal serupa juga dirasakan oleh Bima Sakti yang sempat merumput bersama FC. Helsingborg Swedia dan Kurnia Sandy yang menjadi kiper ke-4 Sampdoria. Permainan yang apik mereka tunjukkan ketika mengimbangi raksasa asia Korea Selatan walaupun akhirnya kalah 2-1 di senayan dan 1-0 di Seoul dalam laga pra kualifikasi olimpiade atlanta 1996. Mereka akhirnya berpisah dan memperkuat sejumlah klub di liga Indonesia, Kurniawan bergabung bersama beberapa orang pemain jebolan primavera lainnya ke the dream team pelita jaya yang kala itu juga sempat diperkuat oleh legenda Kamerun Roger Mila dan Emanuel Maboang Kessack serta pahlawan Argentina pada piala dunia 1978 yaitu Mario Kempes. Seiring dengan “perpecahan” tim primavera ini, kualitas individu para pemainnya pun semakin menurun yang ditandai dengan semakin sedikitnya alumni mereka yang mengenakan seragam merah putih, hanya beberapa saja yang konsisten seperti sang kapten Bima Sakti, sang kiper Kurnia Sandi, Anang Ma’ruf, Bejo Sugiantoro dan anak emas Kurniawan Dwi Yulianto. Milyaran rupiah itu bagaikan menguap begitu saja sementara prestasi yang diidam-idamkan tak kunjung juga jadi kenyataan. Kenyataan semakin pahit ketika Kurniawan yang digadang-gadangkan akan mampu bersaing dilevel eropa, permainannya menjadi naik turun dan cenderung menurun karena kasus narkoba.
Kondisi ini sama persis dengan tim SAD Indonesia sekarang, yang mulai memikat perhatian rakyat Indonesia karena kiprah gemilangnya di Uruguay, publik sepak bola sangat berharap bahwa tim ini betul-betul akan menjadi pionir dari kebangkitan sepakbola Indonesia dilevel asia tenggara bahkan asia ataupun dunia. Semua orang berharap bahwa milyaran rupiah uang rakyat yang telah dihabiskan untuk “biaya sekolah sepakbola” mereka di Uruguay tidak akan sia-sia seperti yang terjadi pada tim Primavera dulu. Banyak pihak khawatir, bahwa apabila usia mereka sudah mencapai tingkatan senior dan mereka kembali untuk bermain diliga Indonesia, maka nasib mereka akan sama seperti para pendahulunya di primavera yang akhirnya kehilangan bentuk permainan eropanya dan kembali ke karakter asalnya yang suka bermain kasar dan lebih mengandalkan otot daripada otak. Deja Vu semakin nyata ketika anggota tim seperti Samsir Alam dan Muhammad Zainal Haq berhasil memikat tim raksasa Uruguay Penarol. Tentu saja kita berharap bahwa Alam dan Samsul akan mampu mempertahankan atau bahkan meningkatkan prestasinya yang membanggakan itu dan tidak diekspos secara berlebihan sehingga tidak dicaci maki ketika gagal mewujudkan harapan bangsa seperti apa yang dialami pendahulunya yaitu Kurniawan Dwi Yulianto. Mungkin sudah waktunya bagi PSSI untuk memikirkan solusi yang tepat bagi tim ini agar tidak menjadi “proyek gagal” seperti yang dialami oleh tim primavera. Ada baiknya bila PSSI mencoba mempromosikan mereka secara realistis untuk bermain diklub-klub yang berada dinegara yang setidaknya kompetisinya setingkat lebih baik dari Liga Indonesia, apakah liga-liga di arab, china atau bahkan liga elit asia seperti J-League, K-League dan A-League. Atau mungkin mempromosikan mereka ke klub-klub dilevel dibawah divisi utama liga-liga elit eropa dan amerika latin yang memungkinkan mereka menapak tangga menuju level yang lebih tinggi. Dan seandainya mereka harus kembali juga ketanah air, mungkin tidak ada salahnya jika PSSI tetap mengumpulkan mereka dalam sebuah tim yang ikut meramaikan liga indonesia untuk jangka waktu tertentu sehingga kebersamaan dan kekompakan tim tetap terjaga. Masih banyak opsi lainnya yang tentu saja lebih diketahui oleh PSSI sebagai “Induknya” sepakbola Indonesia.
Sebagai pencinta sepakbola Indonesia sudah sewajarnya kita mendukung apapun yang akan membawa perkembangan bagi tim nasional di masa depan, bagi para pemuda yang sedang berguru di Uruguay nan jauh disana kita hanya bisa berkata : SAD Indonesia, don’t make SAD Indonesia. Selesai.
Proyek ini membawa ingatan kita kepada belasan tahun kebelakang ketika sejumlah pemuda Indonesia dikirim ke Italia untuk mengikuti kompetisi junior di negara pizza Italia. Tim Primavera yang kala itu dimotori oleh Bima Sakti, Kurniawan Dwi Yulianto, Anang Ma’ruf, Indriyanto Nugroho dkk memberikan angin segar dan harapan baru akan kebangkitan sepakbola Indonesia. Mereka mampu bersaing dengan pemain-pemain muda Italia, bahkan Kurniawan mampu bersaing dengan legenda tim azurri yaitu Alessandro Del Piero dan bahkan sempat direkrut oleh FC. Lucerne, Swiss dan tim Primavera Sampdoria. Hal serupa juga dirasakan oleh Bima Sakti yang sempat merumput bersama FC. Helsingborg Swedia dan Kurnia Sandy yang menjadi kiper ke-4 Sampdoria. Permainan yang apik mereka tunjukkan ketika mengimbangi raksasa asia Korea Selatan walaupun akhirnya kalah 2-1 di senayan dan 1-0 di Seoul dalam laga pra kualifikasi olimpiade atlanta 1996. Mereka akhirnya berpisah dan memperkuat sejumlah klub di liga Indonesia, Kurniawan bergabung bersama beberapa orang pemain jebolan primavera lainnya ke the dream team pelita jaya yang kala itu juga sempat diperkuat oleh legenda Kamerun Roger Mila dan Emanuel Maboang Kessack serta pahlawan Argentina pada piala dunia 1978 yaitu Mario Kempes. Seiring dengan “perpecahan” tim primavera ini, kualitas individu para pemainnya pun semakin menurun yang ditandai dengan semakin sedikitnya alumni mereka yang mengenakan seragam merah putih, hanya beberapa saja yang konsisten seperti sang kapten Bima Sakti, sang kiper Kurnia Sandi, Anang Ma’ruf, Bejo Sugiantoro dan anak emas Kurniawan Dwi Yulianto. Milyaran rupiah itu bagaikan menguap begitu saja sementara prestasi yang diidam-idamkan tak kunjung juga jadi kenyataan. Kenyataan semakin pahit ketika Kurniawan yang digadang-gadangkan akan mampu bersaing dilevel eropa, permainannya menjadi naik turun dan cenderung menurun karena kasus narkoba.
Kondisi ini sama persis dengan tim SAD Indonesia sekarang, yang mulai memikat perhatian rakyat Indonesia karena kiprah gemilangnya di Uruguay, publik sepak bola sangat berharap bahwa tim ini betul-betul akan menjadi pionir dari kebangkitan sepakbola Indonesia dilevel asia tenggara bahkan asia ataupun dunia. Semua orang berharap bahwa milyaran rupiah uang rakyat yang telah dihabiskan untuk “biaya sekolah sepakbola” mereka di Uruguay tidak akan sia-sia seperti yang terjadi pada tim Primavera dulu. Banyak pihak khawatir, bahwa apabila usia mereka sudah mencapai tingkatan senior dan mereka kembali untuk bermain diliga Indonesia, maka nasib mereka akan sama seperti para pendahulunya di primavera yang akhirnya kehilangan bentuk permainan eropanya dan kembali ke karakter asalnya yang suka bermain kasar dan lebih mengandalkan otot daripada otak. Deja Vu semakin nyata ketika anggota tim seperti Samsir Alam dan Muhammad Zainal Haq berhasil memikat tim raksasa Uruguay Penarol. Tentu saja kita berharap bahwa Alam dan Samsul akan mampu mempertahankan atau bahkan meningkatkan prestasinya yang membanggakan itu dan tidak diekspos secara berlebihan sehingga tidak dicaci maki ketika gagal mewujudkan harapan bangsa seperti apa yang dialami pendahulunya yaitu Kurniawan Dwi Yulianto. Mungkin sudah waktunya bagi PSSI untuk memikirkan solusi yang tepat bagi tim ini agar tidak menjadi “proyek gagal” seperti yang dialami oleh tim primavera. Ada baiknya bila PSSI mencoba mempromosikan mereka secara realistis untuk bermain diklub-klub yang berada dinegara yang setidaknya kompetisinya setingkat lebih baik dari Liga Indonesia, apakah liga-liga di arab, china atau bahkan liga elit asia seperti J-League, K-League dan A-League. Atau mungkin mempromosikan mereka ke klub-klub dilevel dibawah divisi utama liga-liga elit eropa dan amerika latin yang memungkinkan mereka menapak tangga menuju level yang lebih tinggi. Dan seandainya mereka harus kembali juga ketanah air, mungkin tidak ada salahnya jika PSSI tetap mengumpulkan mereka dalam sebuah tim yang ikut meramaikan liga indonesia untuk jangka waktu tertentu sehingga kebersamaan dan kekompakan tim tetap terjaga. Masih banyak opsi lainnya yang tentu saja lebih diketahui oleh PSSI sebagai “Induknya” sepakbola Indonesia.
Sebagai pencinta sepakbola Indonesia sudah sewajarnya kita mendukung apapun yang akan membawa perkembangan bagi tim nasional di masa depan, bagi para pemuda yang sedang berguru di Uruguay nan jauh disana kita hanya bisa berkata : SAD Indonesia, don’t make SAD Indonesia. Selesai.
0 Komentar