Sepak bola Indonesia memang belum sampai dimana-mana, bahkan untuk sekedar menjadi raja dikawasan asia tenggara. Tapi bila kita mau jujur, dibalik maraknya kerusuhan suporter, perkelahian antar pemain, pemukulan wasit dan berbagai kekisruhan lainnya, peningkatan kualitas permainan mulai terlihat sedikit demi sedikit.
Liga Super Indonesia (LSI) kini menjelma menjadi tontonan yang dinantikan oleh jutaan pemirsa diseantero nusantara.
Pertandingan bola mulai menjelma menjadi hiburan yang sedap dipandang mata terutama setelah berlalunya ajang Piala AFF pada akhir tahun 2010 lalu walaupun Indonesia hanya mampu “finish” diperingkat kedua. Kerja sama tim yang apik diperlihatkan oleh kebanyakan klub-klub LSI terutama para penghuni papan atas seperti mutiara hitam Persipura, Semen Padang ataupun Arema FC dan yang tak ketinggalan tentu saja sang macan kemayoran Persija Jakarta. Umpan-umpan pendek yang dipadukan dengan umpan-umpan panjang yang disertai kecepatan disisi sayap membuat permainan semakin menarik untuk disaksikan. Kerancakan permainan mereka memang seolah hilang ketika berhadapan dengan raksasa Asia seperti Jepang dan Korea Selatan yang mungkin saja banyak dipengaruhi oleh faktor mental, tetapi diajang yang kastanya setingkat dibawah Liga Champions Asia seperti AFC Cup, tim-tim dari Indonesia untuk sementara mampu menunjukkan performa yang menjanjikan. Persipura dengan kepercayaan diri yang tinggi mampu merepotkan tim sekelas South China yang nota benenya dihuni oleh pemain yang pernah berada pada level kelas atas dunia yakni Nicky Butt dan Mateja Kezman serta meluluh lantahkan perlawanan tim penguasa liga India, East Bengal. Begitupun dengan laskar wong kito Sriwijaya FC yang juga sukses membungkam klub Hongkong lainnya, Pegasus FC walaupun sempat ditahan oleh kuda hitam asal Maladewa, Victory FC.
Walaupun tak terlepas dari kontroversi, Liga Primer Indonesia (LPI) perlahan tapi pasti juga tumbuh menjadi tontonan yang menghibur bagi para pecandu sepak bola di Indonesia. 3 klub “jebolan” LSI ternyata tidak semudah yang dibayangkan untuk menjadi penguasa kompetisi yang bervisi independensi dari dana APBD ini. Tim sekelas PSM Makassar harus rela menelan pil pahit dikalahkan atau ditahan imbang oleh tim-tim yang masih “bayi” seperti Bogor Raya misalnya. Atau bagaimana frustasinya Persebaya 1927 ketika semua peluangnya dimentahkan secara heroik oleh kiper asal Latvia Denis Romanov yang membela Cendrawasih Papua. Permainan tim-tim di LPI terlihat cukup atraktif, apalagi dengan adanya support dari beberapa mantan pemain besar yang pernah berlaga di eropa seperti Richard Knopper (Ajax Amsterdam) dan Lee Hendrie (Aston Villa). LPI juga memunculkan beberapa nama yang sangat layak untuk menjadi tumpuan tim nasional Indonesia di masa depan seperti “Lionel Messinya” Indonesia, Andik Firmansyah yang menjadi trio teletubbies bersama 2 rekannya di Persebaya 1927 yakni Rendy Irawan dan Taufiq dan juga top skor sementara Irfan Bachdim dan juga “calon adik iparnya” Kim Jeffrey Kurniawan yang merupakan rekan setimnya di Persema Malang.
Kualitas ini seharusnya dipelihara dan terus ditingkatkan. Pembinaan usia dini harusnya menjadi prioritas utama sebagaimana keberhasilan kaderisasi yang dicontohkan oleh tim Pelita Jaya yang menyumbang banyak pemain potensial untuk menjadi cikal bakal punggawa tim nasional di masa depan seperti Egi Melgiansyah, Risky Novriansyah, Jajang Mulyana, Angelbert Sani dan beberapa nama potensial lainnya. Kisruh antara LPI dengan PSSI sudah semestinya segera dicarikan jalan keluar agar bakat-bakat yang potensial tidak akan terlewatkan dan tim nasional idaman yang berprestasi tinggi dimasa depan mampu diwujudkan. Selesai..
Walaupun tak terlepas dari kontroversi, Liga Primer Indonesia (LPI) perlahan tapi pasti juga tumbuh menjadi tontonan yang menghibur bagi para pecandu sepak bola di Indonesia. 3 klub “jebolan” LSI ternyata tidak semudah yang dibayangkan untuk menjadi penguasa kompetisi yang bervisi independensi dari dana APBD ini. Tim sekelas PSM Makassar harus rela menelan pil pahit dikalahkan atau ditahan imbang oleh tim-tim yang masih “bayi” seperti Bogor Raya misalnya. Atau bagaimana frustasinya Persebaya 1927 ketika semua peluangnya dimentahkan secara heroik oleh kiper asal Latvia Denis Romanov yang membela Cendrawasih Papua. Permainan tim-tim di LPI terlihat cukup atraktif, apalagi dengan adanya support dari beberapa mantan pemain besar yang pernah berlaga di eropa seperti Richard Knopper (Ajax Amsterdam) dan Lee Hendrie (Aston Villa). LPI juga memunculkan beberapa nama yang sangat layak untuk menjadi tumpuan tim nasional Indonesia di masa depan seperti “Lionel Messinya” Indonesia, Andik Firmansyah yang menjadi trio teletubbies bersama 2 rekannya di Persebaya 1927 yakni Rendy Irawan dan Taufiq dan juga top skor sementara Irfan Bachdim dan juga “calon adik iparnya” Kim Jeffrey Kurniawan yang merupakan rekan setimnya di Persema Malang.
Kualitas ini seharusnya dipelihara dan terus ditingkatkan. Pembinaan usia dini harusnya menjadi prioritas utama sebagaimana keberhasilan kaderisasi yang dicontohkan oleh tim Pelita Jaya yang menyumbang banyak pemain potensial untuk menjadi cikal bakal punggawa tim nasional di masa depan seperti Egi Melgiansyah, Risky Novriansyah, Jajang Mulyana, Angelbert Sani dan beberapa nama potensial lainnya. Kisruh antara LPI dengan PSSI sudah semestinya segera dicarikan jalan keluar agar bakat-bakat yang potensial tidak akan terlewatkan dan tim nasional idaman yang berprestasi tinggi dimasa depan mampu diwujudkan. Selesai..
0 Komentar