Menjelang akhir tahun di mayoritas wilayah di Negara kita tercinta biasanya akan diguyur hujan dengan intensitas ringan sampai dengan berat (lebat). Hujan membawa berkah yang sangat bermanfaat untuk kelangsungan kehidupan dibumi yang dengan izin Sang Pencipta menyuburkan seluruh tanaman dan menghilangkan haus bagi segenap hewan yang bersebaran mencari makan diatas dan dibawah permukaan bumi.
Tantangan
juga muncul saat musim hujan terutama bagi para “bikers” yang hilir mudik
menggunakan “mobil tak beratap dan hanya beroda dua”. Ibarat kata pepatah sedia
payung sebelum hujan, hal ini sangat relevan untuk diperhatikan bagi para
pengendara sepeda motor yang merupakan moda transportasi yang mendominasi
jalan-jalan diseantero nusantara.
Kami
merupakan salah satu dari sekian banyak pengguna jasa kendaraan bermotor beroda
dua tersebut yang tentu saja sangat sering berhadapan dengan tetesan dan
curahan air hujan yang mengiringi disepanjang perjalanan.
Perjalanan
yang kami tempuh sehari-hari sejatinya tidak terlalu jauh, hanya mencatatkan
penambahan penambahan jarak sekitar 15 km pulang pergi pada pencatat jarak
tempuh di sepeda motor yang digunakan. Akan tetapi terkadang kami juga menempuh
perjalanan dengan waktu tempuh yang berlabel Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP)
yaitu dari Batusangkar ke Bukittinggi (PP) dengan jarak tempuh sekitar 100 km.
Minimal sekali
dalam sebulan kami berkendara dari Kota
Budaya Batusangkar yang berada di “Luhak Nan Tuo” ke Kota Wisata Bukittinggi
yang disebut-sebut sebagai Paris Van Sumatera dengan iconnya yang bersandingan
dengan Big Ben di London yaitu Jam Gadang yang dibangun pada zaman Belanda.
Perjalanan ke Bukittinggi kami tempuh untuk bertemu dengan kedua orang tua tercinta,
nenek dan keluarga lainnya di kampung halaman. Sesekali kami juga menggunakan mobil
milik mertua, tetapi kebanyakan perjalanan kami tempuh menggunakan sepeda
motor.
Berdasarkan
pengalaman kami menempuh perjalanan antara kedua kota tersebut selama kurang
lebih sebelas tahun sejak awal 2009 hingga saat ini, pada saat hari hujan
terutama dengan intensitas tinggi, kita akan kuyup kebasahan bila menggunakan
jas hujan yang murah meriah terutama yang harganya berkisar dibawah seratus ribuan.
Sudah beberapa kali kami menukar jas hujan, tetapi tetap saja, air hujan
menembus hingga kedalam kulit.
Berdasarkan
rekomendasi dari seorang teman, kami kemudian beralih ke jas hujan yang
harganya menurut kami agak mahal. Tapi bersesuaian dengan istilah “harga tidak pernah
bohong “ dan ungkapan orang Minang “Kalah Mambali Manang Mamakai (Kalah dalam
membeli karena mahal Tapi Menang dalam memakai karena berkualitas)” ternyata
jas hujan setelan merk Axio (Bukan Axioo merk perangkat elektronik) yang kami
beli kemudian dengan harga mendekati dua ratus ribu rupiah ternyata cocok dan sangat
berkualitas. Sudah berkali-kali kami menempuh hujan lebat sepanjang perjalanan antara
Bukittinggi dan Batusangkar, jas hujan tersebut anti tembus dan berukuran cukup
besar sehingga bila kita membawa tas punggung dengan isi yang tidak terlalu
padat masih bisa ditutup menggunakan jas hujan tersebut. Jas hujan ini juga bisa
digunakan pada saat cuaca cerah untuk membendung angin yang menghadang pada
saat naik sepeda motor.
0 Komentar