Berakit-rakit kehulu berenang-renang ketepian
bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian
Pepatah diatas merupakan ungkapan atau "quote" yang sangat familiar dan sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Tidaklah salah cara para tetua kita dahulu memberikan pendidikan kepada generasi berikutnya melalui nasehat, petuah-petuah bijak dan ungkapan-ungkapan yang penuh makna. Diwaktu kita menerima pembelajaran dari generasi pendahulu kita, karena keterbatasan dan kekurangan diri sendiri, seringkali kita merasakan kebingungan dan belum mampu menemukan makna yang tersirat dibalik nasehat yang diberikan kepada kita.
Belajarlah dari alam dan zaman, begitu salah satu judul buku terjemahan yang dikarang oleh salah seorang penulis dari timur tengah yang terkenal dengan karya fenomenalnya "La Tahzan" yaitu Dr. Aidh Al Qarni. Judul buku yang indah tersebut sangat sejalan dengan nasehat dari para generasi sebelum kita dan ternyata dikemudian hari terbukti menjadi "obat penawar" guna menghadapi pahit getirnya arus kehidupan diatas dunia.
Kami sendiri yang banyak menerima nasehat dari kakek-kakek dan nenek-nenek kami, paman-paman dan bahkan rekan sebaya lambat laun menyadari betapa berharganya untuk selalu belajar dari alam dan zaman, belajar dari pengalaman orang lain, belajar dari berbagai macam nasehat yang terkadang kita salah sangkakan sebagai cermin perbuatan "menggurui" yang tentu saja tidak disukai semua orang. Nasehat-nasehat tersebut memang terkadang terasa pahit, tapi dikemudian hari, ia berubah menjadi obat yang menghadirkan kesembuhan dengan izin Illahi.
Salah satu nasehat/ungkapan sederhana yang begitu terasa kebenarannya saat ini bagi kami disamping quote pembuka diatas adalah ungkapan "sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna. Dimasa sebelum kami menginjak usia dewasa, entah bagaimana awalnya, muncul keinginan yang menggebu-gebu untuk mempelajari ilmu agama. Beberapa kali tayangan di televisi kala itu menampilkan situasi belajar mengajar di pondok pesantren. Yang paling berkesan bagi kami adalah suasana di salah satu pondok pesantren modern terbesar di Indonesia yaitu, Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo, Jawa Timur. Muncul harapan dihati kami untuk dapat menimba ilmu di Gontor. Namun rasa itu mengendap begitu saja dan menghilang entah kemana seiring dengan kesibukan hidup dimasa remaja.
Disaat kami menempuh pendidikan disalah satu perguruan tinggi di Sumatera Barat, terjadi pergolakan kejiwaan yang cukup hebat dikarenakan terasa "berat dan sulitnya" materi yang harus kami lahap dibangku kuliah terutama bila dibandingkan dengan bangku sekolah yang mana semua materi pelajaran bagaikan "makanan" yang siap saji dan disuapkan langsung oleh para guru kepada murid-muridnya (semoga Allah merahmati semua guru kita, dosen dan para pendidik lainnya). Rasa frustasi menggelayuti fikiran kami hingga akhirnya mencapai puncaknya disaat kami meminta izin kepada ibu bapa untuk "undur diri" dari hiruk pikuk dunia perkuliahan.
Rencana kami tersebut ditentang keras oleh kedua orang tua kami, mereka betul-betul berharap agar kami mau berusaha lebih keras berjuang menamatkan pendidikan agar dapat meraih kehidupan yang lebih baik dibandingkan ayah yang bekerja sebagai juru masak disalah satu Rumah Makan Padang dikota Pahlawan dan ibu yang beraktifitas mengurus rumah tangga.
Dengan berat hati kamipun terus melangkah, mencoba untuk bangkit dan meneruskan studi di jurusan Akuntansi tersebut. Kamipun berusaha mengikuti beberapa organisasi kemahasiswaan guna mengusir kejenuhan dan mencoba menambah pergaulan. Sampai akhirnya suatu ketika disalah satu ruangan organisasi kampus, saat itu hanya ada kami dan seorang senior yang piket disana. Kami kemudian berdiskusi ngalor ngidul hingga kemudian dialog itu mengarah kepada diskusi terkait pemahaman agama. Singkat cerita kami sangat tertarik dengan diskusi tersebut dan setelahnya kami merasa penasaran untuk belajar lebih banyak tentang ajaran Islam.
Dikampus tersebut cukup sering diadakan kajian keislaman terutama dengan para ustadz yang berkaliber "impor"/lulusan dari universitas islam luar negeri seperti Al Azhar di Mesir, Universitas Islam Madinah dan juga Darul Hadits di Yaman. Kamipun kemudian malang melintang menghadiri berbagai macam kajian tersebut yang mayoritasnya membahas kitab tertentu berbahasa Arab dan juga menyempatkan diri untuk mempelajari ilmu tambahan seperti dasar-dasar Bahasa Arab walaupun hanya beberapa kali pertemuan.
Keikutsertaan pada kajian-kajian tersebut bagaikan motor penggerak bagi kami untuk lebih bersemangat belajar di kampus. Kami bagaikan menemukan arah kehidupan yang lebih baik. Keinginan untuk belajar agama seperti ketika dimasa SMP dan SMA muncul kembali. Bagaikan mendapatkan durian runtuh, kami yang sebelumnya kebingungan akan cita-cita dan arah kehidupan masa depan, mulai menemukan arah yang akan dituju. Keinginan untuk cepat tamat kuliah dan melanjutkan pendidikan agama hingga sampai ke universitas di timur tengah menjadi khayalan tingkat tinggi yang membuat kami berani bermimpi setinggi langit.
Akhirnya kami selesai menempuh pendidikan di pergururan tinggi tersebut, dengan nilai dan pemahaman yang ala kadarnya, yang penting tamat dan jadi sarjana, hehe. Namun kenyataan selanjutnya bagaikan panggang yang jauh dari apinya. Semua impian dan rencana yang telah dirancang semula sirna seketika. Rapuhnya langkah kami dalam meniti mimpi yang diiringi ketidakmampuan kami untuk meyakinkan kedua orang tua untuk mendukung keinginan kami dalam mendalami ilmu agama, akhirnya berujung pada rasa kecewa. Cita-cita yang seakan begitu mulia lenyap menguap begitu saja, seorang prajurit kalah berperang bahkan tanpa sempat menginjakkan tapak kakinya diatas medan laga.
Akhir dari perjalanan ini memberikan pelajaran yang berharga, pelajaran tentang kesungguhan dalam berusaha, kesungguhan dalam belajar, kesungguhan dalam mengejar cita-cita. Dan buah dari usaha kami yang setengah-setengah itu menjadikan kami bagaikan ungkapan dalam sebuah pepatah : "berburu kepadang datar dapat rusa belang kaki. berguru kepalang ajar bagai bunga kembang tak jadi". Kami akhirnya tak mampu menguasai bidang ilmu yang telah susah payah dipelajari di bangku kuliah alias hanya ala kadarnya saja dan juga tak mampu memahami ilmu agama yang sejatinya merupakan ilmu yang paling berharga dalam mengarungi kehidupan diatas dunia.
Diakhir tulisan ini, kami mengajak diri sendiri dan juga para pembaca untuk mulai berubah dan mengambil hikmah. Segala sesuatu yang hendak dicapai butuh pengorbanan, kesabaran menerima cobaan, butuh kesungguhan, menuntut diri kita untuk "mengeluarkan" yang terbaik dari diri kita dan mencapai lebih dari batasan tertinggi kemampuan kita. Semoga Allah memudahkan segala urusan kita dan membimbing kita kepada arah yang diridhai-Nya. Ihrishala ma yanfa'uka. Selesai.
Read more https://yufidia.com/6047-serial-kutipan-hadits-jangan-merasa-lemah.html
Read more https://yufidia.com/6047-serial-kutipan-hadits-jangan-merasa-lemah.html
Sumber gambar thumbnail : https://yufidia.com/6047-serial-kutipan-hadits-jangan-merasa-lemah.html
Read more https://yufidia.com/6047-serial-kutipan-hadits-jangan-merasa-lemah.html
Read more https://yufidia.com/6047-serial-kutipan-hadits-jangan-merasa-lemah.html
0 Komentar