Full Width CSS

Karena Surabaya Terbuat dari Rindu, Sebuah Memori Masa Kecil yang Indah di Kota Pahlawan.

Manusia adalah bagian dari alam yang tidak bersifat abadi, memiliki permulaan dan kesudahan serta tidak terlepas dari hukum yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Allah Yang Maha Agung menetapkan fase-fase dari kehidupan manusia yang dimulai dari fase kandungan, fase kelahiran, fase kanak-kanak, fase masa remaja, fase masa dewasa dan akhirnya fase berakhirnya kehidupan di dunia.

Saat dilahirkan ke dunia sebelum mencapai masa remaja/dewasa dan dapat mengurus kehidupannya sendiri, manusia sejatinya masih berada dalam kondisi sangat lemah dan begitu tergantung kepada lingkungan sekitarnya terutama kepada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkannya. Seorang anak kecil tak ubah bagaikan tentara yang tunduk patuh pada perintah dan arahan komandannya. Seorang tentara akan pergi ke utara, selatan bahkan kemana saja termasuk menembus gelapnya rimba belantara saat sang pimpinan memerintahkan. Seperti itu pulalah yang dijalani oleh seorang anak kecil yang belum tahu apa-apa, semua perintah dan tindak tanduk orang tuanya akan menjadi Standar Operasional Prosedur (SOP) baginya termasuk bila orang tuanya membawanya pergi jauh merantau meninggalkan tanah kelahirannya.

Aku adalah salah satu contoh dari sekian banyak anak-anak yang pergi jauh meninggalkan tanah kelahiran menuju negeri antah barantah yang belum dikenal dan bahkan penduduknya berbicara juga bukan dengan bahasa ibu yang biasa diucapkan di kampung halamanku. Aku adalah anak pertama dari empat orang bersaudara yang dilahirkan pada Tahun 1982 di kota  kecil bernama Bukitttinggi yang terkenal dengan julukan “paris van java” nya Sumatera Barat.

Pada awalnya ayah kami bekerja sebagai tukang masak di restoran dan rumah makan di kota kami dan setelah beberapa lama, salah seorang kenalan beliau mengajak beliau pindah ke kota Surabaya di mana saat itu restoran yang bernama Sari Bundo baru membuka cabangnya di sana. Kepergian kami ke perantauan terjadi pada tahun 1987 di saat aku masih berada di tingkat taman kanak-kanak dan baru beberapa bulan menjalani masa TK di kampung halaman. Saat itu aku sudah memiliki dua orang adik, bahkan si bungsu (saat itu bungsu, si bungsu sebenarnya lahir di Surabaya Tahun 1989) baru berusia sekitar 1 tahun ketika kami diboyong ayah ke kota pahlawan. Kami menempuh perjalanan selama lebih kurang 3 hari dan 2 malam dengan menaiki bis bernama Manila waktu itu untuk sampai ke Surabaya.

Di Surabaya, aku melanjutkan tingkat Taman Kanak-Kanak di sebuah TK di sekitar daerah Ambengan tidak banyak memori yang kuingat tentang masa ini, yang paling berkesan adalah berteman dengan salah seorang anak bernama panggilan Mamik yang ibunya merupakan salah satu artis tingkat nasional di masa itu yaitu Farida Pasha yang cukup lama berperan sebagai Nenek Lampir.

Pada awalnya kami tinggal di Ketabang Magersari yang jaraknya cukup dekat dengan kantor Walikota Surabaya dan sangat dekat dengan pangkalan taksi yang kalau tidak salah bermerek taksi super waktu itu (kabarnya taksi ini sudah gulung tikar). Ketabang Magersari juga dekat dengan Sari Bundo yang beralamat di Jalan Walikota Mustajab dan berada di arah seberang depan kantor Walikota serta garnisun/komplek batalyon ABRI waktu itu.

Di Ketabang Magersari aku memiliki banyak teman yang berkesan di antaranya Ipung Firmanto, tetangga sebelah rumah kontrakan kami yang memiliki pemutar video VHS/Betamax dan sering mengajak kami menonton Google V, Gaban dan Sariban di rumahnya. Ada mas Moyo beserta adik dan kakaknya, Mas Arif, Mbak Heni dan teman-teman lainnya yang sangat baik dan ramah kepada kami.

Setelah tamat TK, aku disekolahkan di SDN Kaliasin I No. 280 yang beralamat (waktu itu) di Jalan Pemuda yang sekarang menjadi Jalan Gubernur Suryo sementara Jalan Pemuda berkurang panjang/ruasnya. Waktu itu aku terbiasa pulang pergi ke sekolah dengan naik becak yang bayarannya masih sangat murah, mungkin hanya 100 rupiah. Aku tergolong biasa-biasa saja dalam prestasi sekolah, terutama untuk pelajaran bahasa dan aksara jawa pada saat itu. Salah satu hal yang sangat berkesan bagiku pada saat pelajaran bahasa jawa adalah ketika aku disuruh oleh guru pelajaran tersebut, Pak RM Istihadi rahimahullah (kabar meninggalnya beliau kuketahui pada saat berkunjung ke Surabaya Tahun 2013 silam) maju kedepan kelas untuk menulis aksara jawa. Tapi memang dasar aku ndak mengerti ditambah lagi bukan bahasa kampungku, aku dapat jatah dijewer oleh pak guru.

Kehidupan masa itu sangat indah dan bersahaja, dalam keseharian kita masih memainkan permainan tradisional seperti gobak sodor dan lore. Mata uang juga masih sangat berharga waktu itu, dengan 25 (slawe istilah surabanya) atau 50 (seket) rupiah saja kita masih bisa membeli jajanan yang cukup untuk mengganjal perut. Ada juga mainan gimbot/game watch yang beraneka ragam jenis permainannya. Mainan ini dibawa oleh mas-mas yang mengikatnya dengan tali dan ketika sudah terdengar bunyi game over, maka si mas akan segera menarik tali gimbot dan menyuruh kita berhenti bermain. Bermain karambol yang diolesi tepung kanji juga menjadi kegemaran anak-anak pada masa itu.

 Pada masa itu setiap musim maulid nabi, akan digelar pasar malam dengan sajian berbagai macam kuliner dan tentu saja mainan anak-anak. Pasar malam ini dikenal dengan istilah “muludan” dan waktu itu pada saat muludan, jalanan disekitar pasar akan disterilkan seperti car free day pada masa sekarang, sehingga jalanan hanya diisi oleh para pedagang dan pembeli. Banyak mainan tradisional yang dijual di pasar muludan seperti boneka angkrok, kapal otok-otok, layang-layang dan berbagai jenis mainan lainnya.

Kehidupan era 80-90 an di Kota Surabaya sangat indah, masih banyak permainan tradisional yang mengajak anak-anak untuk senantiasa bergerak serta berkreasi dan tidak duduk terpaku seperti pada era gadget saat ini. Saat itu kartun Dash Yonkuro sedang booming sehingga banyak anak yang meminta orang tuanya untuk dibelikan mobil tamiya yang dipakai oleh Yonkuro dan teman-temannya. Aku sendiri dibelikan orang tuaku Mobil Tamiya tipe Canon Ball berwarna hijau yang digunakan oleh teman Yonkuro yang berkarakter rocker (Punkuro). Orang tua kami juga sering membawa kami untuk menikmati arena bermain di Taman Hiburan Rakyat (THR) yang saat itu masih berada dalam masa kejayaan sehingga ramai dikunjungi oleh masyarakat. Kami juga sering dibawa ke Kebun Binatang Surabaya yang luas dan memiliki koleksi beraneka ragam jenis satwa.

Setelah beberapa tahun di Ketabang Magersari, ayah kami mengajak kami pindah ke Genteng Candirejo yang secara jarak sebenarnya juga tidak terlalu jauh dari Ketabang Magersari dan tempat beliau bekerja. Di genteng candirejo aku juga berkenalan dengan banyak teman yang baik hati mulai dari Taufik dan adiknya Taufan dan Johan, Rohim anak pedagang buah di pasar genteng, Iwan yang berdarah Tionghoa, Udin, Widi, Nuzul yang hobi menabuh beduk di langgar (mushalla) dan si kembar Hendra dan Hendri.

Pada malam harinya aku belajar ngaji di genteng dalam. Gurunya biasa dipanggil Abah, orang Madura, yang menampung banyak anak untuk belajar ngaji dirumah beliau tanpa dikenakan biaya. Akhir bulan September 2018 kemarin aku diberi kesempatan berkunjung kembali ke Surabaya. Saat itu aku bernostalgia kembali ke daerah genteng dan ketabang, dan ternyata telah banyak perubahan yang terjadi termasuk diantaranya telah berpulangnya sebagian orang yang kukenal dulu di Surabaya termasuk abah guru ngajiku yang baru kuketahui bernama Hasan Rasyid dan konco akrabku Taufik.

Saat tinggal di genteng candirejo ini, aku sangat sering pergi bermain ke rumah temanku yang juga teman sekelas di SDN Kaliasin I, dua bersaudara kembar bernama Galih dan Chandra serta seorang teman lainnya bernama Eros. Mereka tinggal di gedung budaya Cak Durasim yang jaraknya tidak begitu jauh dari genteng candirejo. Kami sering menghabiskan waktu bersama bermain tamiya, nintendo, gobok sodor dan berbagai macam permainan lainnya di komplek gedung budaya cak durasim dan bila haus minum air dari wadah tradisional bernama kendi. Bersama Galih, Candra dan beberapa orang teman SD lainnya, aku mengikuti kegiatan ekstrakurikuler Pencak Silat Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan berlatih secara rutin di sebuah gedung didaerah gubeng. Para murid yang mengikuti ekstrakurikuler ini diberi kesempatan untuk tampil pada acara perpisahan siswa kelas VI. Disamping pencak silat, aku juga mengikuti kegiatan pramuka dan gerak jalan.

Saat kami berada di kelas V, tim gerak jalan kami meraih tropi juara pertama pada saat lomba gerak jalan dalam rangka peringatan Hari Olahraga Nasional (Haornas). Aku, Galih, Candra dan Eros adalah penggemar berat video game terutama permainan street fighter II yang sangat populer saat itu. Di Komiknya Game ini bercerita tentang petarung bernama Ryu dan Ken yang harus bertarung menghadapi Jenderal Bison yang kejam beserta anak buahnya yang punya skill bertarung tingkat dewa seperti Balrog, Vega dan Sagat.

Di Genteng Candirejo aku juga sering bermain bersama salah seorang teman SD lainnya yang bernama Fery Wulan Saputra. Saat itu Fery memiliki gimbot pertarungan yang bisa dimainkan oleh 2 orang pemain. Aku sering singgah ke rumah Fery di Genteng Bandar untuk memainkan game tersebut. Satu pengalaman yang berkesan bersama Fery adalah ketika kami berdua sedang berboncengan naik sepeda menuju ke gedung taman budaya cak Durasim. Saat itu lewat pula sepasang suami istri yang sedang berboncengan naik sepeda ontel dan tanpa sengaja bersenggolan dengan sepeda kami sehingga kami semua terjatuh. Fery adalah seorang yang berkarakter baik dan lugu. Bulan September 2018 lalu saat aku berkunjung ke Surabaya, aku singgah ke rumahnya dan mungkin karena begitu lamanya waktu berlalu, Fery tidak ingat lagi denganku. Fery masih ramah dan baik seperti dulu, dia bahkan menawariku untuk mengantarku pulang ke hotel tempatku menginap tanpa kuminta sedikitpun dan bahkan sudah aku tolak berulang kali karena tidak ingin membuatnya repot.

Surabaya betul-betul menjadi arena bermain dan tempat tumbuh kembang yang sangat indah dimasa kecil bagiku. Waktu itu aku biasa pergi bermain ke Siola (pusat perbelanjaan yang sekarang telah beralih fungsi menjadi bangunan perkantoran yang dikelola oleh Pemerintah Kota Surabaya) dan melihat-lihat buku di toko buku legendaris Gunung Agung yang berada di jalan Tunjungan, bahkan pernah "urunan" dengan seorang teman untuk membeli buku kungfu dengan harga 700 rupiah. Saat itu masih banyak terdengar kisah tentang genk-genk dari daerah tertentu dan aku sendiri pernah mengalaminya pada saat akan "dikompas" oleh anak-anak daerah gemblongan ketika bermain video game di tunjungan. Akupun "mengambil langkah seribu" sebelum mereka sempat mengompas.

Makanan di Surabaya waktu itu juga sangat menggugah selera, mulai dari nasi rawon, nasi soto, lontong balap, nasi goreng ayam, es degan, es serut, cakwe dan berbagai jenis makanan lainnya yang dijual dengan harga terjangkau dan murah meriah. Bicara mengenai makanan, ibuku sangat menyukai martabak mesir yang dijual malam hari dipasar genteng, dekat dengan rumah kontrakan kami. Sang penjual yang aku lupa namanya sangat ceria sekali ketika mengolah bahan-bahan martabak mesir tersebut. Beliau memasak sambil bernyanyi dan berdendang suka cita (kabarnya beliaupun telah berpulang ke hadapan Allah, semoga Allah mengampuni semua kesalahannya).

Di surabaya aku pertama kali mengenal sepakbola, salah satu partai yang kuingat adalah saat Totenham Hotspur yang menurunkan pemain idolaku di Piala Dunia Italia 1990 Gary Lineker bertanding melawan Crystal Palace yang disiarkan di SCTV pada saat itu. Aku juga masih ingat beberapa drama yang terjadi di Piala Dunia 1990 ketika Salvatore Schilacci diberi julukan sebagai Mr. Offside, ataupun saat Roger Milla menari melakukan selebrasi setelah mencetak gol ke gawang lawan dan penampilan eksentrik dari sang penjaga gawang legendaris Kolombia yang terkenal dengan tendangan kalajengkingnya, Rene Higuita. Di partai puncak, Jerman Barat akhirnya berjaya menundukkan tim tango Argentina lewat gol tunggal pinalti Andreas Brehme yang membuat Diego Maradona menangis dan harus merelakan gelar yang berhasil direngkuh 4 (empat) tahun sebelumnya berpindah tangan.

Setelah Piala Dunia, aku juga sangat terkesan dengan keberhasilan Tim Nasional Indonesia di SEA Games Manila 1991. Kala itu Indonesia dilatih oleh pelatih dari Eropa Timur Anatoly Polosin dan berhasil meraih emas buah bibir setelah menaklukkan tim gajah putih di partai pemuncak melalui drama adu penalti. Itulah prestasi terakhir tim nasional senior di tingkat internasional dan belum mampu diulangi kembali hingga dimasa kita sekarang ini. Pada saat kami pulang kembali ke Sumatera Barat Tahun 1994, di perjalanan aku juga melihat beberapa pertandingan Piala Dunia 1994 yang digelar dinegeri Paman Sam. Masih teringat olehku kehebatan George Hagi dan Hristo Stoichkov waktu itu. Walaupun akhirnya kemapanan dan tradisi selalu menjadi penentu yang terbukti dengan keberhasilan Brazil menahbiskan dirinya sebagai peraih titel terbanyak dalam sejarah perhelatan piala dunia. Sekali waktu aku pernah dibawa oleh Mak Etek (adik ibuku) untuk menonton pertandingan sepak bola di stadion Gelora 10 November Tambak Sari. Waktu itu tim tuan rumah Assyabab Salim Group menjamu tim dari ranah minang Semen Padang. Assyabab akhirnya sukses keluar sebagai pemenang dan menjinakkan perlawanan semen padang.

Tapi cinta sejati penduduk Kota Surabaya rupanya berlabuh kepada tim perserikatan Persebaya Surabaya Green Force Bajul Ijo. Pendukung Persebaya sangat fanatik dan mau pergi kemanapun dalam rangka memberikan dukungan kepada Persebaya bahkan dalam keadaan mereka tidak punya modal/bekal perjalanan yang memadai sehingga wajarlah kemudian apabila mereka dijuluki bondo nekat (modal nekat) walaupun fanatisme mereka terkadang melampaui batas hingga menjurus anarkis dan menyebabkan kerugian bagi diri sendiri bahkan tim yang mereka bela.

Masih banyak hal berkesan dan kenangan indah lainnya di Kota Surabaya bagiku terutama ketika menyaksikan langsung penyambutan pahlawan Indonesia di Olimpiade Barcelona Tahun 1992, Alan Budikusuma arek suroboyo yang diarak menuju Grahadi (rumah dinas Gubernur) yang berada tepat diseberang sekolahku. Kenangan lain yang tak kalah berharga adalah saat menyambut kedatangan Presiden Suharto bersama Ibu Tien (semoga Allah mengampuni beliau berdua dan membalas segala jasa mereka atas bangsa Indonesia) yang waktu itu berkunjung ke Surabaya. Presiden Suharto yang dianggap sangat berjasa atas kemajuan bangsa waktu itu (terlepas dari berbagai macam kontroversi yang mengiringi beliau) terlihat begitu ramah dan antusias melambaikan tangan kepada rakyatnya yang menanti kehadirannya di sepanjang jalan.

Sebuah permulaan pasti akan menuju kepada titik akhir, seperti itulah yang terjadi dengan kisah hidupku di Kota Pahlawan. Kami empat orang bersaudara sangat akrab dengan penyakit waktu di Surabaya, bahkan adik-adikku semuanya pernah dirawat di Rumah Sakit dan hanya aku yang tidak pernah merasakan hal tersebut. Walaupun tidak pernah dirawat di RS, aku sangat sering terkena demam atau penyakit lainnya. Mungkin karena suhu udara di Surabaya yang sangat panas sehingga sering memaksaku untuk tidur diatas lantai tanpa beralaskan tikar ataupun kain untuk sekedar mengurangi gerah/sumuk kalau kata arek suroboyo. Pada saat Ebtanas pun aku sedang berada dalam kondisi kurang fit sehingga ibuku pun pergi menemaniku menghadapi ujian karena menurut informasi dari sekolah waktu itu, akan sulit untuk meminta atau mengikuti ujian susulan sehingga aku memaksakan diri untuk menghadapi Ebtanas semampuku.

Ayah dan Ibuku kemudian memutuskan untuk memboyong kami kembali ke kampung halaman tepat setelah ijazah SD ku diterima. Pada awalnya aku merasa bahagia karena akan bersua kembali dengan kampung halaman tanah kelahiranku tercinta. Tetapi ternyata kenangan akan Surabaya selalu tersimpan dalam sanubari. Kenangan yang membentuk karakter hidupku dan memberikan diriku banyak pengalaman berharga. Kenangan yang sangat indah terutama ketika kita menyadari begitu besarnya peran orang disekitar kita untuk membantu kita menjadi pribadi yang lebih baik. kenangan yang begitu indah tentang Bapak dan Ibu Guru yang mengajarkan tulis baca, yang walaupun kita mencernanya begitu susah payah dan tertatih-tatih, beliau-beliau tersebut tetap sabar mengajar kita. Kenangan akan teman-teman, konco-konco, dulur-dulur dan tetangga yang baik. Kenangan akan kuliner yang lezat dan menggugah selera dan berbagai kenangan lainnya yang tak akan lekang oleh usia dan akan tetap ada didalam dada dan pikiranku sepanjang masa.

Sebagai perwujudan rasa rindu untuk kembali ke Surabaya, pada saat tamat SMA pertengahan awal era millenium (Tahun 2000), akupun mencoba mengikuti UMPTN dengan pilihan pertama jurusan Hubungan Internasional di Universitas Airlangga Surabaya. Akan tetapi karena keterbatasan kemampuanku, pada saat hari pengumuman, maka yang muncul di Koran waktu itu hanyalah pesan "anda belum beruntung" hehe. Dan seiring berjalannya waktu karena tidak ada/jarang menemui lawan bicara yang mengucapkan bahasa Jawa terutama suroboyoan (sedikit berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya tapi tetap bisa saling memahami) akhirnya lidahku yang dulunya fasih mengucapkan logat Jawa Suroboyo secara medok, sekarang telah lupa kebanyakan kosa kata bahasa Jawa dan hanya ingat sebagian kecilnya saja.

Kenangan akan Surabaya akan menjadi bekal berharga melangkah menyongsong masa depan yang lebih baik, karena Surabaya terbuat dari rindu. Selesai.

Posting Komentar

0 Komentar